Seribu hari . Sejak kau meninggalkan aku dalam keterpurukan, gelap dan kesedihan yang entah kenapa dengan begitu bodohnya ku pertahankan, akhirnya aku mengerti. Bahwa kau tak akan pernah kembali. Saat ini kau sudah bahagia, terbukti dengan apa yang ku lihat tadi. Kemesraan dan cinta terpancar dari matamu saat kau berbicara pada wanita itu. Kalian memang pasangan serasi, harus kuakui. Aku memang terlalu jauh berhayal, terlalu naif berfikir bahwa kau tak akan pernah menemukan wanita lain yang mencintaimu seperti cintaku padamu.Tolol. itu kata yang tepat buat aku. Ini tangisku yang terakhir buatmu, aku harus bisa melupakan mu dan semua tentang mu. Aku harus berdamai dengan hatiku, bahwa menunggumu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan.
......................
Sepuluh hari kemudian...
Berkenalan dengan Barga.
Lelaki tampan, berkelas dan berkecukupan. Berasal dari keluarga terpandang. Tak ada yang salah, apalagi kurang. Janji bertemu hari ini, di resto Jepang tempat favorit Barga. Restoran berkelas, yang sama sekali tak kusuka. Hampir saja kumuntahkan makanan setengah matang ini. Tapi sudahlah, aku menurut saja.
"Barga."
"Aisya."
"Maaf buat kamu menunggu. Mau pesan apa? Ini tempat favoritku, biasa kalau bawa kolega sering kesini. Yah maklumlah, aku banyak tamu dari luar. Jadi gak mungkin juga aku bawa ke warung padang."
Barga bercerita dengan sombong, menimbulkan rasa muak di dadaku. Dan waktu terasa begitu lamban berjalan. Barga menguasai pembicaraan tanpa merasa perlu mendengar pendapat ku. Bercerita atau lebih 'tepatnya' memamerkan apa yang dia miliki. Aku benar-benar penat!
Lalu Hisar..
Manager di sebuah bank ternama. Saat bertemu, Hisar lebih banyak menghabiskan waktunya dengan senyum-senyum sambil terus sibuk memainkan jemari pada handphone canggih bermerek terkenal yang mahal itu. Aku merasa tersinggung, nampaknya Hisar lebih tertarik pada dunia maya ketimbang menyapa aku yang nyata-nyata ada di depannya.
Dan Himawan,
pemuda pendiam atau lebih tepatnya sangat pendiam. Hanya menjawab jika aku bertanya, itupun menjawab dengan seperlunya tanpa menatap lawan bicara. Garing!
Kaisar, yang tanpa malu-malu mengakui kalau dirinya seorang Homo hampir membuat jantungku melompat!
Gundhi, yang tak bisa menahan nafsu makannya.
Lalu Bira, Herman dan.... masih sederet nama lainnya, aku tak ingat lagi. Semua laki-laki yang di kenalkan padaku akhirnya berlalu begitu saja, tak ada seorangpun yang tertinggal. Komentar tak sedap pun mulai bermunculan. Debby dan Nurul, dua sahabat cantik ku yang terlihat paling putus asa.
"Ais... aku pusing liat kamu. Semua tak cocok? Come on girl, wake up!" Debby mulai kesal
"Iya Ais.. kamu mau yang tipe gimana lagi? Mau yang seperti Richard Gere ya? Ayolah non, jangan biarkan mimpi itu terus mengikutimu." Kali ini si pendiam Nurul ikut protes.
Aku hanya diam, tak mampu menjawab karena memang tak ingin menjawab. Aku bukan menolak semua lelaki itu tanpa alasan. Hanya saja ku rasa tak perlu menyampaikan penyebabnya. Cukuplah Aku saja yang tahu. Yang terpenting aku tak berputus asa. Aku hanya sedang menunggu rahasia terindah dalam hidupku. Dia, lelaki itu, pasti datang, suatu hari kelak. Aku hanya butuh waktu. Titik.
.....................
Seribu tujuh puluh hari,
Ding. pesan masuk di handphone ku mengusik ketenangan sore. Dengan malas ku raih dan membaca pesan yang berasal dari nomor yang tak terdata di handphone ku.
'Assalamu'alaikum Aisya, saya Palwa. Maaf jika mengganggumu. Aku dapat nomor kamu dari Pram, sepupu kamu. Jika kamu berkenan aku ingin kita berteman.'
Demi nama Pram, sepupu kesayanganku yang telah tercatut, aku terpaksa membalas seperlunya.
'Dengan senang hati, kamu sudah tau nama ku kan?'
'Boleh ketemu Ais?'
'Boleh, tapi tidak dalam waktu dekat ini, aku sedikit sibuk'
'Baiklah, mungkin lain waktu. Tak keberatan jika aku mengirimi SMS kan?'
'Silahkan.'
...................
Seribu Seratus Hari,
Besok kau akan mengucapkan Akad mu buatku. Kaulah orang yang kutunggu selama ini. Rahasia indah yang selalu dinantikan setiap wanita, dan esok adalah giliranku untuk mengetahui rahasia itu. Kau tak tampan, tak pula berbadan atletis. Pekerjaanmu pun tak berada di dalam ruangan dengan dinding bercat bersih, perabotan bagus serta ruangan ber pendingin. Kau hanyalah seorang pedagang beras di pasar induk yang selalu menutup toko mu di setiap waktu sholat agar bisa berjamaah di masjid pasar. Penampilanmu hampir tak pernah rapi, namun aku tahu kau sangat menjaga kebersihannya. Dan kau, seorang duda dengan dua anak yang masih kecil, istrimu wafat setahun yang lalu. Namun aku merasa yakin untuk menghabiskan sisa umurku bersamamu dan anak-anak mu, yang kelak akan menjadi anakku. Dengan mu aku ingin mewarnai alam anganku dengan warna cinta kasih tulus yang selalu ku lihat saat kau memeluk Daffa dan Salwa, kedua buah hatimu. Sapa santunmu, perilaku serta perhatian yang selalu tepat membuat hari-hari ku bersamamu menjadi semakin bermakna. Karena kau telah memikatku dengan keindahan iman yang kau miliki.
Sejak kau menyapaku melalui pesan itu, perlahan kita mencoba untuk saling mengenal. Sapamu tak pernah berlebihan, namun telah mebuat aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasa sebelumnya, dan tanpa sadar aku selalu menantikanmu. Kau membuat aku mengerti sesuatu yang selama ini tak pernah kumengerti. Bahwa ketulusan dan keikhlasan jauh lebih berharga daripada cinta yang menggelora. Karena tak akan menimbulkan sakit, atau perih, atau luka.
Lalu dengan Bismillah, aku memilihmu, Palwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.