Senin, 10 Oktober 2011

Volendam, Belanda. 3 Juli 20011


Belanda.
Siapa tak kenal negeri ini? Negeri dengan berjuta kisah di negeri kita pada masa lampau inilah tempat tujuan kami berikutnya. Pukul 15.42 bertolak dari Brussels, kami tiba di Amsterdam sekitar pukul 17.52 siang. Karena perbedaan waktu sekitar 5 jam dari Indonesia, saat ini masih terhitung siang hari di eropa. Disini rombongan kami berpisah, karena dua teman lainnya, Farah dan dr. Mardo memutuskan tetap tinggal di Amsterdam, sedangkan kami bertiga, Saya, dr. Riska dan Mami ingin melanjutkan ke Volendam dan berencana menginap di Volendam sehari.
Kami sendiri belum tahu dimana itu Volendam.
Keputusan untuk berkunjung ke sini hasil rekomendasi dari adik dr. Riska, 
Yudi Siregar. Bermodalkan saran tersebut kami pun memutuskan untuk mengunjungi kota kecil ini, dengan harapan semoga kami menemukan banyak hal menarik di kota kecil tersebut. 
 

Hari saat ini cukup dingin meski tak hujan. Angin yang bertiup kencang membuat kami sedikit menggigil saat menunggu bus di halte yang sudah disediakan. Di seberang jalan membentang lautan yang tak berombak. Sekitar15 menit kami menunggu di halte, akhirnya bus yang akan membawa kami ke Volendam tiba. Menurut jadwal yang tertera di tiket, perjalanan ini memakan waktu sekitar satu jam saja. Karena sudah terbiasa dengan perjalanan panjang, kami merasa jarak ini tidak teralu jauh.

Saat melintas di pusat kota Amsterdam, saya mengamati banyak hal. Ada beberapa hal yang cukup menarik di negara-negara eropa ini. Misalnya soal arsitektur bangunan. Pada umumnya typikal gedung-gedung dinegara eropa mempunyai banyak kesamaan. Rata-rata memiliki konstruksi gedung yang tinggi dengan bentuk atap kerucut yang meruncing sehingga keseluruhan struktur bangunan terkesan semampai. Jendela kaca tanpa jeruji dengan gorden vitrage dan hiasan yang menempel dikaca serta pintu kayu berwarna gelap juga tak banyak perbedaan. Yang menarik perhatian saya justru warna dari bata dinding gedung. Ada yang berwarna coklat muda, coklat tua, bahkan kehitaman. Di Amsterdam saya melihat bata coklat muda lebih mendominasi, di Paris bata dengan warna coklat lebih tua dan di Jerman dengan bata kehitaman. Unik dan benar-benar khas eropa. Disalah satu jalan, yang saya tak tahu namanya, ada ratusan bahkan mungkin ribuan sepeda ontel terparkir. Kaget dan terpesona, hingga saya lupa mengambil foto menarik itu. Di Amsterdam ini orang-orang lebih suka mengendarai sepeda. Tak heranlah ada begitu banyak sepeda ketimbang sepeda motor. Meski jalur lalu lintasnya tak serapi di Jerman, tapi tingkat keamanannya cukup memadai bagi pejalan kaki atau pengendara sepeda. Dan yang paling baik tentunya soal polusi yang boleh dikatakan hampir tak ada di negara ini.

Sepanjang perjalanan kami melewati peternakan sapi dan domba. Pantas lah jika Belanda sangat terkenal dengan susu dan hasil olahannya, seperti keju misalnya. Peternakan yang di kelola secara profesional ini menunjukkan kecanggihan tekhnologi modern yang mereka miliki dalam hal memproduksi susu terbaik. Melihat ini, saya teringat dengan salah satu daerah di kampung saya. Padang Bolak namanya. Desa ini juga sangat kami kenal sebagai salah satu daerah peternak sapi. Padang Bolak artinya Padang yang luas. Nama yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Karena luasnya dataran di daerah ini, penduduk setempat banyak yang memelihara sapi secara tradisional. Rumput sebagai makanan utama sapi yang sangat mudah ditemukan membuat sapi lebih mudah berkembang biak. Sayangnya sapi-sapi tersebut hanya di produksi sebagai sapi potong saja. Tak ada satupun peternakan yang membudidayakan sapi perah atau sebagai olahan lainnya. Semoga pemerintah setempat bisa membantu peternak tradisional kita menjadi lebih profesional seperti yang saya lihat di sini.


Sejam perjalanan, kami tiba di Volendam. Memasuki kota ini, mengingatkan kami saat berada di Quedlinburg. Kota tua yang sepi. Sebersit kekhawatiran melintasi pikiran kami. Benarkah ini tempatnya? Turun di halte bus, kami tak menemukan tempat untuk bertanya. Kantor pusat informasi kota sudah tutup karena hari sudah sore. Begitu pula swalayan dan cafe-cafe. Meski rumah-rumah disini lebih modern dengan taman yang terawat dengan baik, tapi tak ada seorang pemilik rumah yang nampak. Kesunyian kota membuat kami sedikit ketar ketir. Kami memutuskan untuk terus berjalan, semoga bertemu dengan orang agar bisa bertanya dimana letak hotel yang sudah kami pesan. Di ujung jalan kami bertemu empat orangtua yang sedang asyik berbincang. Untunglah kami di sambut dengan ramah saat bertanya. Ternyata hotel kami tak jauh lagi, kami hanya perlu naik ke salah satu lorong yang bertangga menuju blok berikutnya. Dan alangkah terkejutnya saat kami sampai di blok ini. Hanya berjarak satu blok saja, suasana berubah 180 derajat! Ramai sekali orang disini. Blok terakhir yang berada tepat di bibir pantai inilah pusat wisata Volendam. Sepanjang jalan banyak sekali cafe dan restoran yang buka.


Di pesisir pantai bersandar kapal-kapal pesiar kecil milik pribadi dengan berbagai model yang cantik. Saya menduga kapal-kapal ini milik penduduk yang ada di pulau-pulau kecil diseberang Volendam. Karena ini akhir pekan, mereka datang menghabiskan waktu di sini.




Hotel yang kami pesan sangat istimewa, Old Dutch namanya. Saya merekomendasikan hotel ini sebagai salah satu hotel terbaik Volendam. Old Dutch terletak tepat menghadap pantai. Bangunan tua yang sangat terawat dengan arsitektur khas Belanda tua sangat kental mewarnai hotel ini. Dilantai bawah, restoran yang sangat ramai pengunjung di sore ini menambah semarak suasana akhir pekan. Alunan musik jazz conservatif yang disajikan secara live menyempurnakan acara minum kopi atau teh para pengunjung. Lobi hotel ini menyatu dengan restoran. Urusan keuangan pun langsung di selesaikan di meja bar restoran tersebut. Tak menjadi soal, yang penting kami sangat menyukai tempat ini. Setelah menyelesaikan adminstrasi, kami diantar menuju kamar yang berada di lantai tiga. Saat memasuki kamar, dekorasi kamar yang minimalis membuat hotel ini benar-benar sempurna. tempat tidur kayu keras bercat coklat pekat serasi dengan kursi santai bergaya modern minimalis yang berwarna putih. Gorden berbahan wooll nuansa offwhite berkombinasi coklat susu di serasikan pula dengan seprei penutup tempat tidur katun berwarna putih bersih. Secara keseluruhan warna putih mendominasi kamar ini. Yang paling menarik adalah jendela kamar yang berbentuk lingkaran serta persegi melebar serta plafond tak simetris menegaskan arsitektur kamar, seolah kita sedang berada di dalam kapal dan kami siap berlayar mengarungi laut yang membentang luas tepat di depannya. Benar-benar berkesan. Kenyamanan inilah yang membuat kami betah dan memutuskan untuk tak keluar hotel. Besok kami masih punya waktu seharian disini, lagipula badan mulai terasa penat setelah perjalanan tadi. Istirahat dan menikmati kamar yang nyaman pun menjadi pilihan tepat saat ini.
 
Jam 07.00 kami bergegas turun untuk sarapan dan berkeliling sekitar hotel. Menu sarapan yang disajikan hotel ini cukup beraneka ragam. Dan kami hanya memilih sereal, roti, cake serta jus, teh dan kopi. Selesai sarapan kami mulai 'berkelana' disekitar. Ada sedikit keraguan saat melihat toko-toko di sepanjang blok ini belum ada yang buka. Kami khawatir, karena ini hari minggu kemungkinan toko-toko ini memang tak buka.
Sambil menunggu toko-toko tersebut buka, kami menyusuri blok kearah utara lebih dulu.


Banyak rumah penduduk di blok ini. Rumah-rumah yang berbaris rapat dengan rapi tanpa halaman ini hampir memiliki model yang sama, tampak seperti komplek. Ciri khas musim panas pun terlihat disini. Jendela kaca berhias gorden renda vitrage tembus pandang memungkinkan kita untuk mengintip isi ruang tamu. Seperti rumah-rumah bergaya eropa lainnya, mereka mendekor ruangan dengan gaya minimalis (hanya menempatkan sedikit barang dan benar-benar berguna) namun tetap terkesan hangat. Puas 'mengintip' rumah-rumah cantik ini, kami kembali ke arah hotel, ketempat toko-toko souvenir tadi. Syukurlah sudah mulai ada yang buka. Disepanjang jalan ini berbaris toko souvenir yang menjual aneka cenderamata khas Belanda yang cantik dan unik.

Sepatu kayu dan berbagai macam kerajian keramik sempat membuat kami bingung memilih. Semakin ramai saja pengunjung siang ini. Tanpa kami sadari, masing2 sudah menenteng beraneka ragam barang. Saat makan siang kami pun tak kesulitan. Karena ini daerah pantai, disepanjang jalan banyak sekali gerai-gerai makanan sea food. Tak perlu khawatir, untuk makanan yang dimasak dengan menggunakan minyak mereka menggunakan minyak biji matahari (dieropa pada umumnya menggunakan minyak nabati). Hasil masakannya pun sangat lezat, cocok dengan 'lidah' Indonesia kami. Sempat terkejut juga saat kami menemukan 'nasi goreng' disini. Apa mungkin masakan Belanda terpengaruh dengan masakan Indonesia ya? Pasalnya, semua masakan ini menggunakan bumbu dan rempah khas Indonesia. Tapi jangan tanya soal harga, 1 pax makanan dihargakan 10 sampai 12 Euro. Untunglah rasa yang disajikan sangat memuaskan, jadi soal harga tak terasa terlalu 'menyakitkan'.


Puas berkeliling sampai sore, kami bergegas mengepak barang yang sudah cukup banyak. Ada rasa enggan untuk pulang, tapi mengingat dr. Riska senin besok harus kembali ke kampus membuat kami tak punya pilihan. Suasana yang benar-benar menyenangkan di kota ini sudah membuat kami jatuh hati. Volendam salah satu tempat terbaik yang pernah saya kunjungi. Saya bahkan berhayal, suatu hari jika ada rezeki ingin kembali ke sini. Tak ada salahnya kan berangan-angan.....:).






Thanks to:
dr. Riska Mayasari Srg (pemandu PaHe..)
Yudi Siregar, atas rekomendasinya.