Sabtu, 26 November 2011

Setelah dua puluh tahun

Hane meraih novel yang belum habis dibacanya. Masih sepertiga halaman, masih banyak waktu. Tak ada yang perlu diburu, tak seperti dulu saat masih bekerja. Wanita paruh baya ini menyalakan lampu baca di sudut ruang tempat biasa ia menghabiskan waktu untuk membaca beraneka macam buku. Sesekali, jika penat membaca, Hane menulis. Menulis apa saja yang ada di benaknya. Bukan tulisan komersil, lebih tepat jika di sebut ungkapan hati perempuan yang memilih hidup sendiri ini.
Sudah hampir sepertiga malam. Hane beranjak dari buku bacaannya, Fifth Sally. Novel yang berkisah tentang wanita multi kepribadian ini cukup menarik minatnya. Waktunya Tahajjud. Bersujud di tengah malam selalu membuat batin Hane tentram. Ia percaya setiap ibadah pasti memberikan kenyamanan bagi yang melakukannya. Terlepas dari apa tujuan dan maksud yang diinginkan, Hane hanya merasa alangkah meruginya ia jika tak berusaha untuk dekat dengan Tuhannya.

"Ingatkah kau padaku?" bisik lembut batin Hane. Duduk dilantai sehabis tahajjud beralaskan sajadah, Hane memejamkan mata tuanya sembari berusaha mencari bayangan laki2 dari masa lalu itu. Segaris senyum tipis  terlukis di bibirnya. Hanya kenangan yang tertinggal.
Diusianya yang mulai senja, Hane memilih untuk tinggal sendiri. Rama, anak lelaki yang sedari kecil ia asuh kini sudah mandiri. Kehidupannya pun sangat baik. Menikah dengan Jayanti yang cantik dan lembut, Hane yakin Rama telah memilih wanita yang tepat. Tawaran anak dan menantunya untuk tinggal di rumah mereka secara halus ia tolak. Saat inilah yang ditunggunya, saat ia sendiri, hanya ditemani bayangan masa lalunya. Rumah mungil dengan halaman asri menjadi pilihan. Rumah yang di tata dengan amat sederhana mencerminkan diri perempuan ini. Hane hanya ingin sisa waktu sepenuhnya menjadi miliknya. Kesendirian membuat perempuan paruh baya ini merasa sangat dekat dengan seseorang. Seseorang dari masa lalunya, yang ia sendiri tak pernah tahu keberadaannya dimana.

****

Hane menutup novel yang belum selesai  dibaca. Bersandar dikursi kayu yang diberi alas bantal lembut bersarung katun motif bunga mawar kesukaannya. Pandangannya menerobos jendela kaca tanpa jeruji yang menghadap ketaman belakang. Taman kecil inilah yang selalu menjadi tempat angannya mengembara. Membiarkan ingatannya pelan membuka kisah masa lalu yang saat ini menjadi kekuatan terbesar baginya. Seseorang dari masa lalu, yang perlahan dibiarkannya merasuki kehidupannya kembali, menemani saat-saat sendiri membuat Hane merasa tak kesepian. Hanya kenangan ini yang tersisa, dan Hane tak ingin yang lain lagi. Bayangan dari masa lalu yang tak pernah hilang dari batin perempuan ini, sedari dulu selalu ia simpan rapi di sudut hatinya. Sudut yang tak pernah dibuka, tak pernah di sentuh namun tak pernah pula dibiarkannya membeku. Selalu dijaga, hingga saatnya tiba. Saat Hane sendiri, terlepas dari segala beban hidupnya, terlepas dari berbagai tanggung jawab. Seperti saat ini, saat yang telah lama dinantikannya.

Sabtu sore seperti ini, duapuluh tahun yang lalu...
"Sayang, kamu dimana? jangan lupa nanti sore kita ada janji ketemuan ditempat biasa."
Suara laki2 itu masih terekam rapi di benak Hane. Janji bertemu di tempat biasa yang menjadi tempat favorit mereka hanyalah sebuah toko buku kecil di salah satu sudut jalan dipinggir kota tempat tinggal mereka. Toko buku yang dilengkapi dengan gerai kopi dan kue yang tak begitu ramai pengunjung ini menjadi tempat janji bertemu Hane dan laki2 itu disetiap akhir pekan. Sepulang kantor, mereka biasanya langsung menuju kesana. Bertemu dengan laki2 itu mampu membuat Hane merasa memiliki separuh dunia. Separuh dunia yang hanya berisi keindahan dan kehangatan. Sorot lembut matanya mampu menyejukkan hati yang galau. Sapanya yang selalu membuat aliran darahnya mengalir deras menciptakan semangat baru yang menari-nari dibenak Hane, terus menerus memicu hasrat ingin bertemu yang tak mampu mereka bendung, hingga berpuluh pertemuan pun mereka rajut disetiap akhir pekan.

Pertemuan Pertama,
Jemari Hane meraih buku yang sudah cukup lama dicarinya. Novel lawas yang lama dicarinya ini sebelumnya sudah pernah dimilikinya. Sayangnya salah satu novel favoritnya ini rusak saat dipinjam oleh Dea, sahabat karibnya. Keyra putri Dea yang masih balita merobeknya. Itu sebabnya Hane kembali mencari buku ini. Dengan hati girang Hane melihat buku yang dicarinya berada di rak paling atas toko buku yang baru kali ini dikunjunginya. Toko buku kecil disudut jalan sepi yang asri dan nyaman ini hasil rekomendasi Dea sebagai pembayar rasa bersalahnya. Hane melihat sekitar ingin mencari bantuan. Tak sampai tangannya meraih buku itu. Namun nampaknya tak ada penjaga toko disini. Hane berusaha meraih dengan berjinjit agar tangannya sampai ke rak paling atas. Saat berusaha meraihnya, seseorang datang membantu.

"Buku yang ini mbak?" sapanya dengan akrab
"Iya, makasih mas. Maaf  sudah merepotkan."
"kebetulan saya juga sedang mencari buku ini. Syukurlah masih ada 2. Jadi kita tak perlu 'bertarung' memperebutkannya ya." Laki2 itu tersenyum.
Hane tertawa, "Ada2 saja mas ini."
Laki2 yang cukup menarik. Dan perbincangan mereka pun berlanjut.

Pertemuan pertama di toko buku itu menuntun puluhan pertemuan berikutnya. Pertemuan yang awalnya tak disengaja, kemudian berlanjut menjadi rutinitas. Sengaja mereka menciptakannya, membuat janji temu dengan berbagai alasan yang sebenarnya tak penting. Hane menyadari ada yang salah saat itu. Namun ia membiarkannya. Perasaan yang menggayutinya jauh lebih penting dibanding rasa bersalahnya. Tak ingin Hane berpaling, tak ingin Hane menjauh. Yang ia tahu hanya ingin selalu bersama laki2 itu. Sampai saatnya nanti, saat laki2 yang sangat dicintainya itu harus melangkah meninggalkannya.

*****

Pagi ini cuaca mendung. Hane menyeduh teh hijau kesukaannya kedalam poci keramik putih berlukis mawar merah jambu muda oleh-oleh Rama dari Cina. Roti gandum dan butter serta sebutir apel menjadi menu sarapannya pagi ini. Usia yang tak lagi muda membuatnya semakin berhati-hati dalam memilih makanan. Hane tak ingin menjadi beban buat Rama jika ia sering sakit2an. Perlahan hujan mulai merintik ke bumi. Dipandanginya butiran halus yang turun seakan berlomba mencapai bumi. Saat hujan seperti ini, Hane selalu ingat pada kenangannya. Entah mengapa, pertemuan mereka sering kali diwarnai oleh hujan. Angannya kembali mengembara, mengarungi samudera masa lalunya yang menjadi teman berlayar menghabiskan waktu.

Saat itu, dipertemuan yang kesekian kalinya....
Hane tersenyum saat laki2 itu melambai kearahnya dari seberang jalan. Mengenakan kemeja putih bergaris halus yang di padu celana katun hitam menambah rasa gemuruh di dadanya. Saat itu gerimis kecil menghujani jalanan. Hane lebih dulu sampai, tak sabar ingin bertemu dengan laki2 yang mulai menarik hatinya. Banyak hal yang mereka bincangkan saat itu. Dari soal buku yang sedang mereka baca, soal baju yang dikenakannya, bahkan sampai soal ikan hias peliharaan Hane. Diam-diam Hane memperhatikan wajah laki2 ini. Wajah bulat yang kekanak-kanakan, mata yang tak begitu besar namun memiliki sorot yang teduh, hidung sedikit bangir dengan tahi lalat di sisi kanan dan bibir yang agak tebal dengan kulit berwarna coklat secara keseluruhan bukanlah gambaran yang luar biasa. Titik hujan masih melekat di ujung-ujung rambutnya yang sedikit memutih, membentuk butiran cahaya. Tak ada yang terlalu istimewa pada pisik laki2 ini. Hane menyukai tutur katanya. Menyukai saat Hane bertanya ia selalu memberikan jawaban yang sering membuat Hane kagum. Caranya berbicara memesona Hane. Sederhana namun mampu menjawab semua keingintahuan Hane. Begitu seterusnya, perbincangan yang mengalir membuat mereka tak menyadari waktu yang terus berlalu, hingga tiba saat mereka harus berpisah. Entah siapa yang memulai, mereka pun sepakat membuat janji temu di minggu depan, ditempat yang sama dan jam yang sama.

Masa berjalan, seiring irama hati Hane yang bersenandung mesra. Tak ada yang diinginkannya lagi, selain menikmati saat2 bersama laki2 yang dicintainya ini. Cinta yang sebenar-benarnya cinta. Tak pernah Hane menuntut apapun dari laki2 itu. Yang dia tahu hanya hatinya terlalu mencintainya. Tak pernah pula Hane takut saat laki2 itu akan pergi meninggalkannya. Karena baginya, sepanjang hidupnya laki2 itu akan tinggal dihatinya. Indah yang dirasakannya saat bersama sudah cukup menjadi bekal melanjutkan sisa hidupnya kelak. Tak ada yang salah, tak ada yang harus disesali dan tak ada yang perlu dibenci. Bahkan sampai saat ini, saat usia Hane semakin senja. Saat matanya mulai kabur, saat telinganya mulai tak mampu mendengar dengan sempurna, saat rambut putih mulai menampakkan diri di kepalanya, dan saat ia merasa kakinya mulai goyah menopang tubuhnya. Namun hatinya masih seperti dahulu, selalu mengalunkan lagu mesra saat ingatannya kembali pada laki2 itu. Hati dengan senandung yang tak pernah berubah, tak pernah berpaling.


****

Untuk pertama kalinya...
Mereka memilih tak bertemu di toko buku. Laki2 itu yang memilih tempatnya. Restoran cantik yang romantis membuat Hane sedikit gugup.

"Aku mencintaimu." Laki2 itu berbisik di telinganya.

Hatinya kembali bersenandung mesra. Benarkah ucapan itu keluar dari bibir laki2 yang mulai dicintainya ini? Hane menepis tanya itu. Ia tak perduli, benar atau dustakah laki2 itu padanya. Yang ia tahu hatinya sedang mencintai. Seharusnya cinta yang tulus tak berpamrih. Seharusnya cintanya tak memerlukan banyak tanya ataupun jawaban. Mencinta cukup hanya dengan mencintainya, tak perlu yang lain. Kenaifan membalut hati Hane. Ia tak perduli. Baginya diberi kesempatan untuk bisa mencintai cukup lah sudah. Diberi sedikit waktu bersama laki2 itu lebih dari cukup buatnya. Tak banyak yang diharapkannya, karena ia memang tak membuat hatinya berharap. Jalani saja, tak perlu menganyam mimpi. 

Segalanya indah, tak ada yang salah saat itu. Saat-saat terbaik dalam hidupnya telah ia kecap. Hane tak menyesal mengenal laki2 itu. Tak pernah merasa salah. Cinta yang dianugerahkan bukanlah atas permintaan mereka. Pertemuan yang tak pernah disesali walaupun berakhir dengan cara yang mereka pilih pun tak mampu menghapus cinta dihati perempuan ini.
"Laki2 terbaik dalam hidupku hanya kamu", selalu Hane membatin saat berada dalam dekapannya. Saat kebersamaan yang mereka nikmati dengan indah, saat pelukan masih membalut kehangatan hati. Hane tak pernah menyesal, benar-benar tak menyesali saat-saat bersama laki2 ini. Semua karena Hane merasa yakin atas cintanya. cinta yang dipenuhi kesungguhan hati. Berpuluh pertemuan mereka rangkai bersama. Hingga saatnya tiba saat jalan yang harus mereka lalui telah sampai di persimpangan.


****

"Benarkah kau yang meninggalkan aku?"
pertanyaan yang tersimpan dihatinya tak memerlukan jawaban.

Laki2 itu pernah memintanya,
"Menikah lah dengan ku Ne... aku benar-benar mencintaimu."

Di setiap pertemuan mereka akhir-akhir ini Laki2 itu kerap kali meminta Hane untuk bersedia menikah dengannya.  Hane tak bergeming, tak tahu apa yang harus dikatakannya.


"Menikah dengan ku sama artinya kau harus menceraikan istrimu."
Hane mendesah lirih.

Batinnya bergejolak. Bukan ini yang diinginkannya. Benar memang ia sangat mencintai laki2 ini. Benar juga bahwa ia tahu bahagia yang dirasakan laki2 itu dan kebahagiaan yang dirasanya mampu memberikan ketentraman. Mencipta keindahan yang membuatnya tak ingin menjauh. Kasih sayang yang mereka ciptakan seharusnya tak melukai orang lain. Tak ingin Hane menjadi pendusta pada dirinya. Bahagia yang dijanjikan angan mereka tak sepenuhnya dipercayai Hane. Tak yakin ia bisa merajut kebahagiaan jika seseorang yang lebih dulu hadir dalam hidup laki2 ini terluka. Tak mampu ia membayangkan kepedihan dan amarah yang mereka ciptakan menggurat hati kedua anak laki2 ini. Hane tak ingin menjadi noda hitam. Hane tak memiliki pilihan lain.

"Tak bisa kah kau merubah keputusanmu?
Tak bisakah kita membiarkan saja apa yang sudah ada padaku,
jauh sebelum kita bertemu?"

"Bahwa kau telah beristri dan memiliki anak?"

"Tapi aku tak bahagia Hane..
Dengan mu aku merasakan mencinta dan dicinta yang seutuhnya.
Kau tak pernah berkata tidak, tak pernah menyakitiku.
Selalu menjaga hati dan rasaku.
Aku tahu terkadang kau terluka, tapi tak pernah kau ucap.
Kau hanya diam, dan diam mu menyebabkan cinta
yang semakin tak berkesudahan buat ku. Aku ingin hidup bersama mu."

"Jika kau benar mencintai ku dan ingin hidup denganku,
mengapa tak berani kau memutuskan?
Aku tak sanggup jika harus berbagi." 

"Aku tak bisa melukai anak-anak ku Ne.
Mereka tak bersalah". pandangan Laki2 itu menerawang jauh,
ada luka disana.


"Dan menurutmu, menikah diam2 dengan ku tak melukai mereka?"

Laki2 itu memejamkan matanya. Hane meraih jemari Laki2 yang sangat dicintainya ini. Menggenggamnya dengan lembut, seakan mencoba mengalirkan kekuatan padanya. Padahal hatinya mulai tak berirama lagi. Tapi ia tak ingin kalah oleh hasrat yang mengepung hatinya. Mencoba membutakan pikirannya, menjeratnya dalam lingkar luka yang tak bertepi. Penolakan halus yang dilakukannya mengukir luka dihati, namun Hane tak punya pilihan lain. Hane tahu persis, Laki2 ini tak akan menuruti maunya. Hane sangat mengenalnya.

"Jangan beri aku mimpi. Kita sama2 mengerti, tempat kita berbeda.
Cinta lah aku dalam hatimu yang paling gelap, jangan biarkan ada yang tahu.
Aku tak ingin kita saling melukai nantinya.
Tidak kah kau merasa kita sudah sampai?"

Dan Laki2 itu merengkuh Hane. Memeluk perempuan tercintanya dengan rengkuhan kasih yang tak berbilang. Perih menginjak-injak hatinya, tapi ketegaran perempuan ini membuatnya bertahan. Tak pernah perempuan ini melukainya. Tak pernah sekalipun kecuali penolakan yang memang harus ia lakukan.

Hane jatuh cinta padanya. Laki2 yang telah ber istri dengan perbedaan umur yang cukup jauh. Saat itu usia Hane 34 tahun, sedang laki2 itu sudah berumur 53 tahun. Tak pernah Hane merasa ada yang salah. Kalaupun ada, mungkin hanya lah soal waktu, atau pendapat orang-orang yang tak mengerti tentang rasa cintanya. 


****

Hane menjalani hidupnya sendiri. Kesibukan yang kian meningkat sengaja ia ciptakan agar mampu melewati hari tanpa luka karena kehilangan. Tak ada kabar sejak saat itu. Pembicaraan itu adalah pertemuan terakhir mereka. Hane yang memutuskan. Permintaan terakhir Laki2 itu sebelum ia pindah tugas ke luar negeri entah samapi berapa lama, telah ditolaknya. Hane tak ingin diberitahu kapan ia akan berangkat atau kemana ia dipindahkan. Biarlah semua utuh dalam angannya. Utuh sampai pada titik terakhir kesempurnaan yang di ciptakan perempuan ini. Kemudian Rama datang ke dalam hidupnya. Anak laki2 yang diadopsinya sejak berumur lima tahun ini mampu menepis sepi Hane. Kasih sayang tercurah padanya. Hane membesarkan Rama dengan sepenuh jiwa. Membentuk pribadi yang tangguh dan memberikannya pendidikan yang baik menjadikan Hane merasa hidupnya lebih berarti.
Dengan sabar ia melewati hari-harinya. Banyak kesedihan dan kesulitan dilaluinya sendiri. Tak jarang ia merasa putus asa, namun Rama dan kenangannya selalu kembali menyemangatinya. Berpuluh tahun yang sepi dilalui dengan berjuta butiran kerinduan. Setelah Rama cukup menguasai dengan baik segala urusan perusahaan yang telah dibinanya berpuluh tahun, perempuan ini pun memilih mundur. Menyerahkan tanggungjawab dan kepemimpinan sepenuhnya kepada Rama. Dan Hane merasa sangat puas, Rama tak pernah mengecewakannya. 

****

Dua puluh tahun sudah sejak pertemuan terakhirnya dengan Laki2 itu. Hane masih mencintainya. Diusianya yang sudah menginjak angka 56, bayangan itu masih tetap ia simpan. Setahun belakangan ini Hane malah sengaja mendatangi toko buku kecil tempat mereka dulu sering bertemu. Merangkai kepingan kenangan yang tak ingin ia lupakan. Ada rasa nyaman saat Hane berada di toko itu. Tak banyak perubahan disini, mungkin pemiliknya memang sengaja mempertahankan keunikan tokonya. Perubahan yang paling mencolok hanyalah pada mesin hitung otomatis yang sekarang terletak di meja kasir. 

Sabtu sore ini, Hane berencana kembali ke toko itu. Rama mengerti bahwa ada sesuatu yang sangat berarti buat Hane di toko buku itu. Kasih sayangnya pada wanita ini menyebabkan Rama selalu khawatir jika Hane bepergian seorang diri. Itu sebabnya, Rama hanya mengijinkan Hane bepergian jika diantar supir kepercayaannya. Tapi Rama tak ingin bertanya lebih jauh. Biarlah Hane menyimpannya. Jika ia ingin berbagi, pasti Rama lah orang pertama yang akan mendengar ceritanya.Kasih sayang, perhatian, didikan dan nasehat wanita ini selalu ia dengarkan. Tak pernah Hane menyimpan rahasia terhadap Rama, kecuali soal yang satu ini. Rama menghormati dan menyayangi wanita yang diketahuinya bukan ibu kandungnya. Tepat saat ia berulang tahun yang ke tujuh belas, dengan penuh kasih sayang dan tutur yang lembut, Hane membuka lembaran kisah tentang Rama. Tak ada yang disembunyikannya dari Rama. Bahwa orangtua kandungnya yang tewas karena kecelakaan mobil yang mereka tumpangi saat hendak pindah dari desa ke kota ini untuk mengadu nasib, tak terselamatkan saat itu juga. Rama masih berusia 2 tahun. Saat kecelakaan ia masih berada dalam pelukan ibunya yang berusaha melindunginya.
Samar ia mengingat, pertama kali bertemu dengan Hane di panti asuhan. Saat itu usianya sudah lima tahun. Wanita dengan wajah lembut dan sorot mata penuh kasih ini ini memeluknya dengan segenap ketulusan. Namun Rama sangat menghormati dan menghargai apa-apa yang menjadi urusan pribadi wanita yang sudah dianggap ibu kandungnya ini, termasuk cerita tentang toko buku itu.

Hane mematut dirinya di cermin. Kemeja longgar warna peach dan celana model capri coklat tua yang dikenakannya serasi dengan kerudung serta tas dan sepatu yang berwarna senada. Sapuan bedak tipis dan lipstik transparan membuat wajahnya terlihat lebih segar. Ada kerutan di wajah tuanya. Pipinya yang mulai kendur, tak mampu menyembunyikan kehangatan sorot mata wanita ini saat Sabtu tiba. Hane akan ke toko itu lagi. Tak ada yang diharapkannya, tak pula ia menunggu Laki2 itu. Ia hanya menjemput kenangannya. 

Duduk di kedai minum di toko ini, seperti kebiasaan dulu yang sering ia lakukan bersama laki2 itu membuat Hane merasa tak sendiri. Dipilihnya kursi yang biasa mereka tempati. Pemilik kedai ini pun sepertinya sudah paham, bahwa setiap sabtu sore wanita ini pasti datang, hingga ia selalu meletakkan karton bertuliskan 'reserve' diatas mejanya.
Secangkir teh hijau dan sepotong keik labu, menemaninya menghabiskan Sabtu sore ini. Kebahagiaan terlintas diwajahnya. Kebahagiaan yang hanya dimengerti oleh hatinya. 

Sekilas ia memandang kedalam toko buku. Ada sosok yang menarik perhatiannya disana. Sepasang kekasih nampaknya. Hane hanya bisa melihat wanitanya, laki2 pasangannya membelakangi pandangan Hane. Senyum selalu tersungging diwajah wanita itu, menandakan bahwa ia sangat bahagia saat ini. Pasangan muda yang bahagia, batin Hane. Sedikit penasaran Hane terus mengikuti pasangan itu dengan pandangan matanya yang tak lagi jelas. Sampai akhirnya mereka selesai memilih buku dan bergandengan tangan menuju ke arah Hane duduk. Pasangan muda ini semakin mendekat kearah nya, nampaknya mereka juga akan duduk di gerai ini. Wanitanya cantik, berkulit putih bersih dengan rambut hitam lurus sebahu. Keramahan terpancar dari sorot matanya. Dan kekasihnya..... sejenak jantung Hane berdetak melambat. Tak salahkah pandanganku? Hane terpaku. Mata teduh itu, hidung dan wajah bulat kekanakan serta kulit coklatnya benar-benar.... tanpa sadar ia terus mengikuti pemuda itu dengan pandangannya. Mereka memilih meja tepat di hadapan Hane, dan pemuda itu menghadap kearahnya. Jantung Hane semakin berdebar hebat. Sekarang ia dapat dengan jelas melihat wajah pemuda itu. Usianya sekitar 25 tahunan. Namun garis wajah Laki2 dari masa lalunya tergambar jelas di wajah pemuda ini. Hane masih terpaku, tak pernah ia menyangka akan mengalami hal seperti ini. Bahwa ia akan melihat Laki2 itu, walaupun hanya dalam bentuk 'kemiripan' semata. Jantungnya berdegup kencang, batinnya bersuara keras. Siapa pemuda ini? Apakah kemiripan ini hanya kebetulan semata? berpuluh pertanyaan dan jawaban pun sahut menyahut di batinnya. Tiba-tiba pemuda itu melambaikan tangan kearahnya. Hane terkejut, namun secepatnya menyadari bahwa lambaian itu tentu bukan ditujukan kepadanya. Seseorang  datang dari arah belakang Hane. Rasa ingin tahu membuat wanita ini menoleh kebelakang. Dan.... jantungnya seakan berhenti berdetak. Laki2 itu juga menoleh kearahnya. Langkahnya terhenti, menatap tak percaya pada wanita yang sedang melihat kerahnya. 

****

Lama mereka terdiam, hanyut dengan alam pikiran masing-masing. Pertemuan ini sama sekali tak pernah di bayangkan oleh keduanya. Tiba-tiba mereka dipersatukan dalam pusaran yang sama. Ditempat yang sama saat mereka pertama kali bertemu. Pemuda tadi cucu dari Laki2 ini. Hari ini ia ingin memperkenalkan wanita cantik tadi kepada kakeknya sebagai calon istrinya. Tempat ini dipilih oleh Laki2 itu.  Usia mereka sudah tak muda lagi memang. Tanpa terasa, waktu telah jauh meninggalkan mereka. Rambut putih telah memenuhi kepala Laki2 tercintanya. Kerutan diwajahnya pun semakin menegaskan seberapa panjang waktu yang telah di nikmatinya. Kakinya yang sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya, sangat bergantung pada tongkat kayu berkualitas yang selalu dibawanya. Kacamata tanpa bingkai menghiasi wajahnya. Walaupun seluruh simbol penuaan tercetak di wajah dan phisik Laki2 ini, namun Hane masih bisa merasakan kehangatan yang di alirkan laki2 ini lewat tatapannya. 


"Bagaimana hari-hari dalam hidupmu, Hane...?"
Laki2 itu memulai percakapan. Berusaha memecah pusaran badai yang mereka rasakan berdua.

"Baik..baik. Dan kau?" gugup Hane menjawab pertanyaan Laki2 ini.

"Hmmm..." 
Laki2 itu hanya bergumam. Tak mampu Hane mengartikan nya.

"Dua puluh tahunkita tak berkabar. 
Sejujurnya sejak itu seharipun aku tak mampu melupakanmu. 
Tak pernah aku bisa untuk membiarkanmu benar-benar pergi dariku.
Maafkan aku Hane, tanpa izinmu aku tetap menyimpanmu di hatiku.
Sering aku ingin kembali, tapi permintaan terakhirmu menghalangi langkahku.
Aku ingin menghormatimu, hanya itu yang bisa kulakukan."

"Apa yang kau lakukan menunjukkan bahwa
kau sangat menghargai hubungan kita. Setidaknya ini mengurangi
rasa bersalahku. Itu sudah cukup buatku.
Sekarang kita sudah tua, rasanya tak pantas lagi membicarakan hal itu.
Kau sudah bercucu, dan sebentar lagi mantu.
Selamat ya, aku senang mendengarnya. Tak pernah aku menyangka
kita akan bertemu dengan cara seperti ini."
Hane mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

"Dan kau tentunya sudah memiliki cucu juga kan?"
Pelan laki2 itu bertanya, seakan takut melukai hati wanita ini, atau sebaliknya, takut merasakan luka dihatinya.

"InsyaAllah dalam waktu dua bulan ini. 
Do'a kan semoga berjalan lancar."

"Siapa laki2 beruntung yang menikah dengan mu, Ne?"
Ada gurat kecewa di wajah laki2 itu. Ia tak berusaha menyembunyikannya dari Hane. Suara paraunya menegaskan kecewa itu.

"Aku tak pernah menikah..., aku mengadopsi seorang anak laki2"
pelan Hane berbisik.
"Dan kau, apakah rumahtangga mu baik?"

Hane menatap laki2 itu, dan sekarang pandangan mereka bertemu.
Ada keterkejutan disana, dimata laki2 itu. Hanya sekilas, lalu berganti dengan binar yang sulit dimengerti oleh wanita ini. Ada rasa malu bergelayut dihatinya, merasa tak pantas memiliki rasa seperti ini diusia nya yang tak lagi muda. Namun ada magnet yang menarik-narik pandangannya untuk kembali menatap laki2 ini. Sekarang ia benar-benar melihat binar disana.

"Istriku sudah wafat Ne. kanker usus, sepuluh tahun yang lalu."

Dan Hane tak mampu menahan jantungnya yang berdebar keras. Tak mampu meredam agar hatinya tak memainkan alunan lagu mesra yang senantiasa mengalun lembut saat ia memikirkan laki2 ini. Tak mampu mengawal agar kalbunya tak menari. Ia merasa tak pantas, sekuat tenaga ia berusaha mencegahnya, namun ia tak mampu. Hingga akhirnya Hane menyerah, membiarkan lingkar badai yang dirasakannya membuai dan menghanyutkan mereka berdua, membawa mereka ke alam mahaindah.  Membiarkan pusaran waktu yang tiba-tiba melambat, seakan memberi kesempatan untuk ia dan laki2 itu menikmati sisa waktu yang mungkin sudah tak banyak lagi buat mereka. Segalanya indah, mungkin ini lah saatnya, setelah dua puluh tahun.