Senin, 17 Oktober 2011

Brussels, Mini Europe

 03 Juli 2011
Ingin melihat bangunan-bangunan terkenal di seluruh eropa? Berkunjunglah ke Mini Europe. Terletak di Bruparck, Brussels, taman ini menyimpan seluruh bangunan-bangunan terkenal di Eropa dalam bentuk yang kecil alias miniatur. Sekitar 1 jam dari Paris, kami berangkat dengan kereta pukul 09.42 pagi ini. Tak ada rencana mengunjungi tempat lain di Brussel karena kami bermaksud langsung ke belanda hari ini juga.
Karena letaknya tak begitu jauh, kami memutuskan berjalan kaki dari stasiun kereta menuju taman ini. Taman yang terletak tepat di kaki Atomium, sebuah monumen di Belgia yang terdiri dari sembilan bola baja dengan tinggi 102 meter hasil rancangan andre Waterkeyn pada tahun 1958. Disetiap tabung yang menguhungkan kesembilan bola baja tersebut di lengkapi dengan eskalator. Setiap tabung di desain menjadi berbagai macam ruang, seperti restoran ataupun ruang pameran. Pada tahun 2004 lalu, bola-bola baja direnovasi, lembaran alumunium pembalutnya yang mulai memudar di ganti dengan lembaran stainless steel. Atomium ini menjadi salah satu ikon Brussel, seperti Eiffel di Paris.
Kami lebih memilih untuk masuk ke Taman, mengingat sempitnya waktu. Kereta ke Amsterdam pukul 15.42 siang, jadi kami cuma punya waktu sekitar 4 jam untuk berkeliling di taman seluas 24.000m2 ini. Sanggup tidak ya??? Tiket masuk ke taman ini sekitar 35 Euro, cukup mahal untuk kantong Rupiah kita. Namun sepanjang pengalaman yang sudah-sudah, biasanya harga tiket sesuai dengan apa yang akan kami lihat nantinya
Di halaman sebelum pintu masuk ada sebuah gedung bioskop, namun karena hari masih pagi sepertinya belum ada pertunjukan, terlihat sepi. Di dinding atas bioskop terpampang poster film Harry Potter

Saya sangat menyarankan, jika ingin ber pesiar ke eropa pilihlah pada saat musim panas. Selain cuaca panas yang lebih cocok buat kita, juga pemandangan jauh lebih indah. Seperti saat ini, bunga beraneka warna bermekaran di sepanjang taman merupakan pemandangan yang sangat menyenangkan. Bukan memuji atau melebih2kan bunga di sini, tapi saya merasa warna-warna nya lebih cerah dibanding dengan bunga di Indonesia. Mungkin inilah bentuk keadilan Allah SWT, karena hanya diberi waktu sekitar 3 bulan untuk menikmati masa ber matahari dalam setahun, jadi mereka diberi bonus keindahan sempurna dari setiap tumbuhan yang hidup di sini. Itupun kesimpulan saya sendiri saja, sebagai pengobat agar hati tak terlalu iri dengan keindahan yang sedang saya nikmati saat ini.
Mengelilingi taman dengan segala bentuk miniatur bangunan-bangunan dari negara eropa ini cukup menyenangkan hati, terutama saat melihat miniatur bangunan negara eropa yang tidak kami kunjungi. Ada pula beberapa miniatur yang bergerak/hidup seperti kapal yang sedang berlayar, kereta yang sedang berjalan diatas rel melewati terowongan, dan gunung berapi yang sedang beraksi. Cukup hebat para perancang tempat ini. Miniatur gedungnya juga sangat detil dan di buat semirip mungkin dengan aslinya. Melihat semua isi taman ini, membuat saya berhayal seandainya ada taman seperti ini di negara kita. Coba bayangkan indahnya, jika miniatur kapal-kapal tradisional indonesia hilir mudik di sungai buatan, disekelilingnya miniatur rumah adat berbagai macam daerah atau miniatur kota yang ada di seluruh indonesia dengan segala kesibukannya. Taman dipenuhi dengan ribuan jenis bunga dan tumbuhan khas Indonesia lainnya yang tentunya di buat dalam ukuran kecil. pasti tak kalah indahnya dengan taman ini. Dan saya yakin menciptakan taman seperti itu bukanlah hal yang sulit buat kita, hanya tinggal menunggu waktu dan terus berharap.
Puas berkeliling dan berfoto sebagai kenang-kenangan kelak, kami kembali ke satasiun kereta. Ada yang unik di sepanjang lorong rel kereta yang saya lihat. Sepanjang dinding lorong di penuhi gambar mozaik yang sangat menarik yang sepertinya sangat saya kenali. Lama mengamati, barulah saya mengerti, Belgia terkenal sebagai kota pembuat karpet di dunia. Itu sebabnya saya merasa tak asing dengan mozaik di dinding lorong kereta ini, karena menggambarkan motif-motif yang ada pada karpet yang padau umumnya banyak dipergunakan sebagi penutup lantai di rumah-rumah kita. Indah dan sangat efisien cara mereka berpromosi. Sayang saya tak sempat memotret karena keretakamimelaju dengan sangat cepat.

Senin, 10 Oktober 2011

Volendam, Belanda. 3 Juli 20011


Belanda.
Siapa tak kenal negeri ini? Negeri dengan berjuta kisah di negeri kita pada masa lampau inilah tempat tujuan kami berikutnya. Pukul 15.42 bertolak dari Brussels, kami tiba di Amsterdam sekitar pukul 17.52 siang. Karena perbedaan waktu sekitar 5 jam dari Indonesia, saat ini masih terhitung siang hari di eropa. Disini rombongan kami berpisah, karena dua teman lainnya, Farah dan dr. Mardo memutuskan tetap tinggal di Amsterdam, sedangkan kami bertiga, Saya, dr. Riska dan Mami ingin melanjutkan ke Volendam dan berencana menginap di Volendam sehari.
Kami sendiri belum tahu dimana itu Volendam.
Keputusan untuk berkunjung ke sini hasil rekomendasi dari adik dr. Riska, 
Yudi Siregar. Bermodalkan saran tersebut kami pun memutuskan untuk mengunjungi kota kecil ini, dengan harapan semoga kami menemukan banyak hal menarik di kota kecil tersebut. 
 

Hari saat ini cukup dingin meski tak hujan. Angin yang bertiup kencang membuat kami sedikit menggigil saat menunggu bus di halte yang sudah disediakan. Di seberang jalan membentang lautan yang tak berombak. Sekitar15 menit kami menunggu di halte, akhirnya bus yang akan membawa kami ke Volendam tiba. Menurut jadwal yang tertera di tiket, perjalanan ini memakan waktu sekitar satu jam saja. Karena sudah terbiasa dengan perjalanan panjang, kami merasa jarak ini tidak teralu jauh.

Saat melintas di pusat kota Amsterdam, saya mengamati banyak hal. Ada beberapa hal yang cukup menarik di negara-negara eropa ini. Misalnya soal arsitektur bangunan. Pada umumnya typikal gedung-gedung dinegara eropa mempunyai banyak kesamaan. Rata-rata memiliki konstruksi gedung yang tinggi dengan bentuk atap kerucut yang meruncing sehingga keseluruhan struktur bangunan terkesan semampai. Jendela kaca tanpa jeruji dengan gorden vitrage dan hiasan yang menempel dikaca serta pintu kayu berwarna gelap juga tak banyak perbedaan. Yang menarik perhatian saya justru warna dari bata dinding gedung. Ada yang berwarna coklat muda, coklat tua, bahkan kehitaman. Di Amsterdam saya melihat bata coklat muda lebih mendominasi, di Paris bata dengan warna coklat lebih tua dan di Jerman dengan bata kehitaman. Unik dan benar-benar khas eropa. Disalah satu jalan, yang saya tak tahu namanya, ada ratusan bahkan mungkin ribuan sepeda ontel terparkir. Kaget dan terpesona, hingga saya lupa mengambil foto menarik itu. Di Amsterdam ini orang-orang lebih suka mengendarai sepeda. Tak heranlah ada begitu banyak sepeda ketimbang sepeda motor. Meski jalur lalu lintasnya tak serapi di Jerman, tapi tingkat keamanannya cukup memadai bagi pejalan kaki atau pengendara sepeda. Dan yang paling baik tentunya soal polusi yang boleh dikatakan hampir tak ada di negara ini.

Sepanjang perjalanan kami melewati peternakan sapi dan domba. Pantas lah jika Belanda sangat terkenal dengan susu dan hasil olahannya, seperti keju misalnya. Peternakan yang di kelola secara profesional ini menunjukkan kecanggihan tekhnologi modern yang mereka miliki dalam hal memproduksi susu terbaik. Melihat ini, saya teringat dengan salah satu daerah di kampung saya. Padang Bolak namanya. Desa ini juga sangat kami kenal sebagai salah satu daerah peternak sapi. Padang Bolak artinya Padang yang luas. Nama yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Karena luasnya dataran di daerah ini, penduduk setempat banyak yang memelihara sapi secara tradisional. Rumput sebagai makanan utama sapi yang sangat mudah ditemukan membuat sapi lebih mudah berkembang biak. Sayangnya sapi-sapi tersebut hanya di produksi sebagai sapi potong saja. Tak ada satupun peternakan yang membudidayakan sapi perah atau sebagai olahan lainnya. Semoga pemerintah setempat bisa membantu peternak tradisional kita menjadi lebih profesional seperti yang saya lihat di sini.


Sejam perjalanan, kami tiba di Volendam. Memasuki kota ini, mengingatkan kami saat berada di Quedlinburg. Kota tua yang sepi. Sebersit kekhawatiran melintasi pikiran kami. Benarkah ini tempatnya? Turun di halte bus, kami tak menemukan tempat untuk bertanya. Kantor pusat informasi kota sudah tutup karena hari sudah sore. Begitu pula swalayan dan cafe-cafe. Meski rumah-rumah disini lebih modern dengan taman yang terawat dengan baik, tapi tak ada seorang pemilik rumah yang nampak. Kesunyian kota membuat kami sedikit ketar ketir. Kami memutuskan untuk terus berjalan, semoga bertemu dengan orang agar bisa bertanya dimana letak hotel yang sudah kami pesan. Di ujung jalan kami bertemu empat orangtua yang sedang asyik berbincang. Untunglah kami di sambut dengan ramah saat bertanya. Ternyata hotel kami tak jauh lagi, kami hanya perlu naik ke salah satu lorong yang bertangga menuju blok berikutnya. Dan alangkah terkejutnya saat kami sampai di blok ini. Hanya berjarak satu blok saja, suasana berubah 180 derajat! Ramai sekali orang disini. Blok terakhir yang berada tepat di bibir pantai inilah pusat wisata Volendam. Sepanjang jalan banyak sekali cafe dan restoran yang buka.


Di pesisir pantai bersandar kapal-kapal pesiar kecil milik pribadi dengan berbagai model yang cantik. Saya menduga kapal-kapal ini milik penduduk yang ada di pulau-pulau kecil diseberang Volendam. Karena ini akhir pekan, mereka datang menghabiskan waktu di sini.




Hotel yang kami pesan sangat istimewa, Old Dutch namanya. Saya merekomendasikan hotel ini sebagai salah satu hotel terbaik Volendam. Old Dutch terletak tepat menghadap pantai. Bangunan tua yang sangat terawat dengan arsitektur khas Belanda tua sangat kental mewarnai hotel ini. Dilantai bawah, restoran yang sangat ramai pengunjung di sore ini menambah semarak suasana akhir pekan. Alunan musik jazz conservatif yang disajikan secara live menyempurnakan acara minum kopi atau teh para pengunjung. Lobi hotel ini menyatu dengan restoran. Urusan keuangan pun langsung di selesaikan di meja bar restoran tersebut. Tak menjadi soal, yang penting kami sangat menyukai tempat ini. Setelah menyelesaikan adminstrasi, kami diantar menuju kamar yang berada di lantai tiga. Saat memasuki kamar, dekorasi kamar yang minimalis membuat hotel ini benar-benar sempurna. tempat tidur kayu keras bercat coklat pekat serasi dengan kursi santai bergaya modern minimalis yang berwarna putih. Gorden berbahan wooll nuansa offwhite berkombinasi coklat susu di serasikan pula dengan seprei penutup tempat tidur katun berwarna putih bersih. Secara keseluruhan warna putih mendominasi kamar ini. Yang paling menarik adalah jendela kamar yang berbentuk lingkaran serta persegi melebar serta plafond tak simetris menegaskan arsitektur kamar, seolah kita sedang berada di dalam kapal dan kami siap berlayar mengarungi laut yang membentang luas tepat di depannya. Benar-benar berkesan. Kenyamanan inilah yang membuat kami betah dan memutuskan untuk tak keluar hotel. Besok kami masih punya waktu seharian disini, lagipula badan mulai terasa penat setelah perjalanan tadi. Istirahat dan menikmati kamar yang nyaman pun menjadi pilihan tepat saat ini.
 
Jam 07.00 kami bergegas turun untuk sarapan dan berkeliling sekitar hotel. Menu sarapan yang disajikan hotel ini cukup beraneka ragam. Dan kami hanya memilih sereal, roti, cake serta jus, teh dan kopi. Selesai sarapan kami mulai 'berkelana' disekitar. Ada sedikit keraguan saat melihat toko-toko di sepanjang blok ini belum ada yang buka. Kami khawatir, karena ini hari minggu kemungkinan toko-toko ini memang tak buka.
Sambil menunggu toko-toko tersebut buka, kami menyusuri blok kearah utara lebih dulu.


Banyak rumah penduduk di blok ini. Rumah-rumah yang berbaris rapat dengan rapi tanpa halaman ini hampir memiliki model yang sama, tampak seperti komplek. Ciri khas musim panas pun terlihat disini. Jendela kaca berhias gorden renda vitrage tembus pandang memungkinkan kita untuk mengintip isi ruang tamu. Seperti rumah-rumah bergaya eropa lainnya, mereka mendekor ruangan dengan gaya minimalis (hanya menempatkan sedikit barang dan benar-benar berguna) namun tetap terkesan hangat. Puas 'mengintip' rumah-rumah cantik ini, kami kembali ke arah hotel, ketempat toko-toko souvenir tadi. Syukurlah sudah mulai ada yang buka. Disepanjang jalan ini berbaris toko souvenir yang menjual aneka cenderamata khas Belanda yang cantik dan unik.

Sepatu kayu dan berbagai macam kerajian keramik sempat membuat kami bingung memilih. Semakin ramai saja pengunjung siang ini. Tanpa kami sadari, masing2 sudah menenteng beraneka ragam barang. Saat makan siang kami pun tak kesulitan. Karena ini daerah pantai, disepanjang jalan banyak sekali gerai-gerai makanan sea food. Tak perlu khawatir, untuk makanan yang dimasak dengan menggunakan minyak mereka menggunakan minyak biji matahari (dieropa pada umumnya menggunakan minyak nabati). Hasil masakannya pun sangat lezat, cocok dengan 'lidah' Indonesia kami. Sempat terkejut juga saat kami menemukan 'nasi goreng' disini. Apa mungkin masakan Belanda terpengaruh dengan masakan Indonesia ya? Pasalnya, semua masakan ini menggunakan bumbu dan rempah khas Indonesia. Tapi jangan tanya soal harga, 1 pax makanan dihargakan 10 sampai 12 Euro. Untunglah rasa yang disajikan sangat memuaskan, jadi soal harga tak terasa terlalu 'menyakitkan'.


Puas berkeliling sampai sore, kami bergegas mengepak barang yang sudah cukup banyak. Ada rasa enggan untuk pulang, tapi mengingat dr. Riska senin besok harus kembali ke kampus membuat kami tak punya pilihan. Suasana yang benar-benar menyenangkan di kota ini sudah membuat kami jatuh hati. Volendam salah satu tempat terbaik yang pernah saya kunjungi. Saya bahkan berhayal, suatu hari jika ada rezeki ingin kembali ke sini. Tak ada salahnya kan berangan-angan.....:).






Thanks to:
dr. Riska Mayasari Srg (pemandu PaHe..)
Yudi Siregar, atas rekomendasinya.

Minggu, 09 Oktober 2011

Serena Menangis

Serena menangis.
Lama sudah ia tak menangis. Tangisnya kali ini terasa lebih pilu dari lagu-lagu yang mengisahkan tentang perpisahan. Lebih perih dari luka yang baru terkoyak dan ditetesi oleh perasan lemon. Bahkan lebih menyayat dari cerita tentang kematian. Sakit yang teramat sangat sepertinya mendera hati dan jiwa perempuan ini.
Dengan mata sembab, pucuk hidung memerah dan pipi yang masih menyisakan garis airmata, Serena berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya. Berusaha membuang semua kenangan indah yang  tak ingin di kenang Serena dalam hidupnya kelak. Saat yang berat yang harus ia jalani demi menyelamatkan hatinya yang telah retak , kini pecah berkeping-keping dan tak mampu ia susun kembali. Terlalu berat baginya saat ini untuk menata serpihan hati yang berserak. Serena butuh waktu yang panjang. Meski ia tak berputus asa, berharap suatu hari nanti saat yang menghancurkan hatinya ini hanya tinggal sekeping kenangan.
Saat ini Serena sendiri, menatap layar monitor Laptopnya. Membaca satu persatu email dari Restu. Tak ada lagi Restu disisinya, juga di hatinya. Kehampaan yang tak pernah dibayangkannya selama ini menimbulkan kebimbangan di hati Serena. Tak akan ada lagi dering telepon di jam 12 malam tepat menghampiri ponselnya. Juga tak akan ada lagi pesan singkat di email yang selalu bernada manis, seperti yang saat ini sedang di bacanya kembali. Perlahan Serena mulai menghapus satu persatu, berharap yang dilakukannya mampu menghapus bayangan lelaki itu dari hati dan pikirannya.
Tak ada yang disalahkan dalam hubungan ini, Serena membatin perih. Karena terlalu rumit buat mereka berdua. Awal yang salah, di waktu yang salah. Sebenarnya Serena dan Restu sangat menyadari hal ini. Menyadari mereka mengawali sesuatu yang akhirnya akan menyakiti. meski tak tahu siapa yang lebih tersakiti. Dan akhirnya Serena lah yang lebih tersakiti. Menelan semua kepahitan dan kegetiran atas segala yang sudah ia lakukan.
Hari ini Restu menikah.
Pilihannya jatuh pada seorang gadis yang memang sepadan dengannya. Serena tahu, Restu pun tahu, bahwa saat ini akan tiba. Saat Restu bertemu dengan gadis yang cocok, atau sebaliknya, Serena menemukan lelaki yang menginginkannya. Mereka menyepakati soal ini dalam diam. Menunggu saat siapa yang akan lebih dulu melangkah, pergi meninggalkan yang lain. Seperti layaknya pertandingan, Serena dan Restu menanti dengan hati galau siapa yang akan menjadi pendahulu. Dan hari ini, Restulah sang pendahulu itu. Harusnya Serena tak perlu terluka, tak perlu menangis. Bergejolak batinnya berusaha mencari jawaban atas semua isaknya. Tapi tak ada jawaban, selain rasa perih dan sepi yang semakin mendera.
Setahun Serena mengenal Restu. Perkenalan yang diawali dengan ketidaksengajaan, ternyata berlanjut sampai sejauh ini. Serena tak pernah menyangka, komunikasi yang mereka bangun mampu menimbulkan perasaan yang sudah cukup lama tak menghampiri hatinya.
Serena tak berani berhayal tentang kelanjutan hubungan mereka kelak. Restu pun begitu, sangat menyadari apa yang sebenarnya akan terjadi dikemudian hari. Namun seakan tak mampu mengawal lajunya hasrat, semakin lama Serena dan Restu semakin terhanyut. Meski hanya dua kali bertemu, karena jauhnya jarak antara mereka berdua tak menjadi halangan berarti.Tanpa disadrari Serena dan Restu menciptakan pelekat atas hubungan mereka yang tanpa arah. Setiap malam, tepat di jam 12 Restu selalu menghubungi Serena. Sekedar menyapa untuk kemudian menghantarkan Serena kealam mimpi. Biasanya Restu suka membacakan tulisan-tulisannya, tak jarang pula Restu menyanyikan lagu penghantar tidur Serena. Memeluk Serena dalam hayal, itu selalu dilakukan Restu. Buaian yang indah, dan Serena tak yakin mampu melewati malam-malam tanpa Restu dimulai dari hari ini.
Lamunan Serena terus mengembara. Ingatannya melayang, jatuh pada saat pertemuan kedua dan terakhirnya dengan Restu. Sebab tak akan ada lagi pertemuan sejak saat itu. Serena masih ingat, pertemuan itu menjadi lebih istimewa dibanding pertemuan pertama mereka. Saat itu, untuk pertama kalinya Restu memeluknya dalam nyata, bukan hanya dalam hayal pengantar tidur seperti yang selama ini mereka lakukan. Pelukan hangat Restu tak bisa hilang dari pikiran Serena. Tak banyak kenangan nyata dalam hubungan mereka. Sedikit namun cukup membuat Serena mampu merekam dengan sangat baik semua tentang Restu . Ingatan yang mungkin akan menjadi teman tidur Serena, atau mungkin pula menjadi teman setia yang selalu berjalan bersama dalam hidupnya kelak. Serena tak tahu, benar-benar tak tahu. Biarlah hidupnya kembali berjalan seperti saat sebelum bertemu Restu. Selalu bergelung dengan sepi, bersahabat dengan bisikan hati dan tersenyum saat kepahitan melanda hatinya. Perempuan dengan hati yang penuh gurat luka ini menatap photo Restu dan dirinya, untuk yang terakhir kali. tersenyum dalam pelukan Restu yang hangat. Kehangatan yang akan menyelimuti tidurnya di malam-malam panjang kelak.

Senin, 03 Oktober 2011

Paris, 30 Juni 2011




Ini negara pertama diluar Jerman yang akan kami kunjungi. Dengan kereta ekspress dari Berlin Hbf kami bertolak pada pukul 13.15 siang waktu setempat. Perjalalanan kali ini cukup panjang, kira-kira 9 jam lagi baru sampai di Paris. Diperkirakan kami akan tiba pada pukul 10 malam waktu Paris. Inilah baiknya pelayanan transportasi disini. Ada beberapa negara eropa yang menjalin kerjasama menyambug jalur2 kereta mereka. Jadi tak mesti naik pesawat, naik kereta pun kita bisa sampai ke negara2 eropa lainnya, sepanjang negara tersebut masih memberlakukan Visa yang sama (Schengen). Soal tiket kereta saya kurang begitu paham. Sedikit yang saya tahu, karena kami turis diharuskan membeli tiket kelas VIP. Tiket tersebut bisa di pergunakan pada (maksimal) 6 negara yang akan dikunjungi, yang telah kita pilih sewaktu membeli tket tersebut. Jadi tak perlu berulang-ulang membeli tiket, cukup satu kali untuk seluruh perjalanan. Tak merepotkan dan sangat efisien ya.
Kereta yang kami tumpangi ini benar-benar pantas disebut 'kereta ekspress'. Disetiap pintu pemisah antar gerbong, tak sengaja saya melihat display kecil yang memantau kecepatan laju kereta. Saat itu saya baru menyadari, kereta yang kami tumpangi melaju degan kecepatan 300km/h, tanpa merasakan goncangan sedikitpun bagi penumpang didalamnya. Benar-benar nyaman dengan design layaknya pesawat terbang.



Paris, I'm in Love... salah satu judul film romantis Indonesia. Judulnya saja sudah cukup buat pembaca berhayal. Dan saya, yang saat ini sedang menuju tempat 'romantis' versi film tersebut, bertanya dalam hati, benarkah Paris tempat yang romantis? Kalau ya, seberapa romantis kah? Apa yang membuatnya menjadi romantis dan berbagai pertanyaan berkelebat dalam pkiran saya. Sebegitu hebatkah tempat ini, sehingga sering sekali kita mendengar cerita2 bernuansa cinta disini. Belum lagi banyaknya pasangan yang bercita-cita berbulan madu ke Paris, wah benar2 semakin membuat saya penasaran dan ingin cepat sampai.
Sekitar pukul 10 malam (walaupun hari msh terang) kami tiba d Paris. Sedikit kecewa, stasiun kereta tak sebersih di Jerman. Banyak sampah berserakan. Keluar stasiun angin lumayan kencang menyambut kedatangan kami. Cuaca di Paris nampaknya lebih bersahabat. Walaupun berangin tapi tak menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Kami berjalan mencari hotel yang sudah di pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Sedikit informasi, di eropa kebanyakan hotel tidak menerima tamu yang belum mem-booking kamar. Setelah berkeliling (karena sulit menemukan plang nama jalan), akhirnya kami menemukan hotel tempat kami menginap. Ternyata letaknya tak begitu jauh dari stasiun. Selesai mandi, sholat dan makan, kami keluar hotel berjalan-jalan disekitar sambil mencari minuman hangat. Banyak cafe disekitar sini, tapi karena hari mulai larut, mereka pun bersiap untuk tutup. Ada sesuatu yang sedikit mengganggu pikiran. Paris terkenal sebagai kota wisata negara Perancis, seperti Bali juga di negara kita. Tapi perbedaan kehidupan malamnya sangat jauh berbeda. Disini jam 12 malam sudah mulai sepi, sedang di Bali justru baru memulai aktifitas. Alangkah sedihnya saya, budaya ngafe dan gemerlap malam kan milik mereka, kenapa justru negara kita yang kelihatan lebih 'mem-budayakan' ini ya. Lelah berputar sekitar kota, kami kembali ke hotel untuk beristirahat. Rencana besok kami mulai tur ketempat-tempat yang terkenal di Paris. Saya berharap semoga banyak manfaat yang didapat esok hari.
Pukul 07.00 pagi kami keluar hotel setelah sarapan. Di sebelah hotel kami menemukan toko kue khas india. Kue2 cantik beraneka warna ini menggugah selera kami. bentuknya macam-macam, sepintas seperti getuk, kue khas indonesia. Tapi rasa kue ini sangat manis, karena bahan utama terbuat dari gula. Setelah memilih beberapa macam kue, yang dipilih berdasarkan bentuk dan warna yang menarik selera, kami pun melanjutkan perjalanan.




Tujuan pertama kami, Museum Louvre. Museum yang menyimpan koleksi lukisan-lukisan terkenal dunia. lebih dari 10.000 lukisan di simpan disini, termasuk lukisan fenomenal Leonardo da Vinci : 'Mona Lisa' dengan senyum misteriusnya. Gedung museum ini dulunya bekas istana Raja Perancis, dengan arsitektur bergaya abad Renaissance. Museum yang dibuka sejak tahun 1793  ini termasuk museum terbesar dunia.

Di halaman gedung yang sangat luas, ada sebuah piramida kaca yang unik. Le Pyramida, begitu di sebut dalam bahasa Perancis. Piramida prisma kaca ini di buat oleh I.M Pei, seorang arsitek berkebangsaan Cina. Dibangun dengan tinggi 20m dan sisi 30m dan terbuat dari hampir 800 keping kaca berbentuk segitiga yang dirakit pada kerangka almunium membentuk prisma. Sungguh sebuah hasil karya teknis yang luar biasa. Pintu masuk museum berada tepat di bawah piramida ini. Pagi itu jam masih menunjukkan pukul 08.00 pagi, namun antrian pengunjung yang ingin masuk ke museum sudah cukup panjang.Ada dua jalur masuk, jalur pertama antrian untuk pengunjung yang hanya ingin masuk sampai Lobby gedung museum. Jalur kedua bagi pengunjung yang ingin masuk ke dalam museum dan membayar sebesar 10 Euro. Saya dan seorang teman memilih jalur kedua karena ingin melihat lukisan-lukisan serta berbagai macam hasil seni dunia, sedangkan tema-teman yang lain memilih menunggu sambil berbelanja di Lobby gedung museum. Cukup menarik, sangatlah pandai pihak pengelola menarik pengunjung yang tak ingin masuk ke museum namun tak pula bosan menunggu dengan membuka berbagai macam toko layaknya sebuah Mall. Jadi tak ada kata bosan selama menunggu bukan?.

Masuk ke museum yang sangat terkenal di dunia ini ada sedikit rasa istimewa di hati. Istimewa dalam artian bisa melihat hasil karya seni kelas dunia, yang tentunya mempunyai nilai seni yang tinggi pula. Gedung yang sangat luas dengan lebih dari 60.000 meter persegi dengan ruang pameran yang dibagi berdasarkan janis barang seni yang dipamerkan, cukup membuat kaki pengunjung lelah mengelilinginya. Setiap pengunjung dibekali peta museum. Karena luasnya, kami memutuskan hanya mengunjungi beberapa ruang yang terkenal saja. Seperti ruang Napoleon dan tentunya, mencari si Mona Lisa!

Kami lebih dulu menemukan Ruang Napoleon Bonaparte III. Tiap ruang di desain sesuai pada masanya terdahulu. Ada ruag pertemuan, ruang keluarga, ruang makan, ruang kerja dan juga bar tempat berkumpul bersama para bangsawan. Kebiasaan berkumpul menyelenggaraan pesta jelas terlihat dari luasnya ruangan pertemuan. Secara keseluruhan tatanan ruang ini menggambarkan tentang kehidupan sang Raja.


Kebiasaan, kemewahan serta kekayaan yang luar biasa tergambar jelas disini. Perpaduan warna emas dan merah sangat mendominasi. Dinding dan langit-langit dipenuhi dengan lukisan indah, sedangkan perabotan terbuat dari kayu kualitas nomor satu. Begitu pula kain pembalut sofa, terbuat dari beludru berwarna merah menandakan cita rasa sang Raja soal kemewahan serasi dengan gorden pada jendela dan pembatas ruang yang juga berwarna senada. Semakin menambah sempurna kemewahan yang ingin ditunjukkan oleh sang Raja dengan menambahkan lampu-lampu kristal berukuran besar yang bertengger di langit-langit gedung memancarkan sinar keemasan. Benar-benar mewakili jati diri sang Raja.






Puas berkeliling, kami menuju ruang-ruang pameran lukisan peukis terkenal lainnya. Lukisan berbagai ukuran, besar dan kecil di pajang memenuhi dinding museum. Pada umumnya lukisan menceritakan tentang kejayaan dan kekayaan raja-raja dan tentang kisah-kisah perjalanan penyebaran agama kristen pada masa itu.
Jika pelukisnya terkenal, biasanya penjagaanpun diperketat. Penjaga bermuka serius yang awas mata berkeliling di sekitar ruang.


Namun tak perlu takut bertanya, sebab ketika kita bertanya mereka akan langsung merespon dengan sangat baik. Pelayanan prima kelas dunia. Semua lukisan yang dipamerkan dilukis dengan sangat indah, namun saya tak yakin apakah lukisan-lukisan ini masih benar-benar asli atau replikanya saja. Tak menjadi soal, karena saya bukan kolektor.


Kami benar-benar kesulitan
mencari lukisan Mona Lisa. Berpuluh ruangan dan ratusan lukisan sudah kami lewati, namun yang dicari tak kunjung bertemu. Sedikit penasaran dalam hati saya bertanya,  kenapa sulit ya? Padahal ini kan termasuk masterpiece disini, seharusnya mudah untuk ditemukan. Tapi sudah hampir 1/2 jam kami mencari belum juga bertemu. Sewatu melihat peta, kami sudah berada pada blok yang tepat.
Tak menyerah, kami kembali menelusuri jalur sesuai pentunjuk peta. Kali ini kami berhasil. Disatu ruangan yang agak menjorok, ramai sekali orang berkerumun. Sewatu kami dekati, saya langsung tersenyum. Bukan senyum kagum, namun lebih tepat 'tersenyum lucu' menahan tawa. Ternyata lukisan yang dikerumuni banyak orang itu lukisan yang kami cari. Dan yang membuat saya tersenyum, ternyata lukisan itu sangat kecil! Pantas saja tak
kelihatan, kami membayangkan lukisan ini dalam ukuran besar seperti kebanyakan lukisan lainnya. Sejujurnya saya sedikit heran, mungkin karena saya bukan kurator (peneliti barang seni) yang mengerti nilai seni pada lukisan ini, jadi saya tak merasakan keindahan ataupun keunikannya.
Yang saya rasakan hanyalah fenomena kemashyuran cerita mulut ke mulut soal 'senyuman penuh misteri' Lisa Gherardini, istri dari Francesco del Giocondo yang di lukis oleh Leonardo Da Vinci dengan berbagai gosip yang menyertainya. Satu pelajaran yang bisa saya simpulkan, apapun bentuk seni itu, yang terpenting adalah kita harus menghargai, bagaimanapun bentuk dan siapapun penciptanya.

Selesai dengan Museum Louvre, kami bergerak menuju Notre Dame (katedral Notre Dame). Katedral kuno yang masih melakukan kegiatan Misa ini sangat ramai dikunjungi wisatawan, baik yang bermaksud hanya untuk melihat-lihat ataupun yang ingin mengikuti kegiatan rohani yang dilaksanakan katerdral tersebut. Saat kami tiba saja sudah cukup panjang antrian pengunjung yang ingin mengikuti acara Misa. Bangunan dengan arsitektur Gothic ini masih sangat baik walaupun dibangun pada abad 12 Paris.

Dihalaman luas katedral banyak sekali burung dara berkeliaran. Saat itulah saya baru menyadari sering melihat foto orang bersama burung dara yang jinak, ternyata disnilah  tempatnya. Tak mau me- lewatkan kesempatan, setelah dipancing dengan remah-remah roti agar mau  mendekat, kami pun langsung beraksi bersama burung-burung cantik yang ramah ini.


Setelah Notre Dame, kami kembali melanjutkan aksi keliling kota Paris. Tujuan selanjutya, Menara Eiffel. Karena kami ingin melihat Eiffel diwaktu siang dan juga malam hari, terpaksa kami harus datang 2 kali. Siang hari kami ingin melihat menara ini dengan jelas, dan malamnya ingin pula melihat lampu-lampu menara yang menyala. Semua setuju dengan rencana ini.                                                                               

Menara Eiffel diambil dari nama perancangnya, Gustave Eiffel yang selesai dibangun pada tahun 1889. Menara yang dibangun menyambut acara Pameran Dunia merayakan seabad Revolusi Perancis ini merupakan bangunan tertinggi di dunia pada saat itu. Berdiri di bawah menara ini serasa diri menjadi semut di kaki gajah. Menara yang tinggi dengan kaki-kaki yang kokoh membuatnya nampak semakin gagah. Rangkaian besi padu yang disusun bersilangan menambah keunikan menara. Inilah Eiffel disiang hari, yang dibangun di tepi sungai Seine menambah keindahan tersendiri, dan kami masih penasaran bagaimana penampilannya di malam hari.
Penat berjalan, kami mencari kedai minum untuk istirahat sejenak. Cukup jauh tempat kami menemukan cafe dari menara. unik sekali, kami harus berjalan lurus, kemudian naik tangga menuju sebuah lapangan . Sepintas kami mengira di lapangan itulah letak cafe, ternyata dibalik lapangan itu ada jalan raya yang ramai. Disinilah tempat melihat menara Eiffel dari kejauhan. Benar-benar bagus dan indah.
Malam nanti
rencananya kami akan melihat Eiffel dari tempat ini.
Akhirnya kami memilih salah satu dari sekian banyak cafe yang ada di sepanjang jalan. Cafe cantik dengan payung dan kursi berwarna merah sangat kontras dengan cuaca yang terik siang ini. tak ada rencana makan karena kami sudah mengisi perut dengan bekal yang di bawa saat kami kembali ke hotel untuk shalat Dzuhur.


                             


Sambil menunggu malam, kami memutuskan untuk menuju Champs-Elysees, salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi, khususnya bagi yang ingin berbelanja. Komplek termahal di dunia setelah Fifth Avenue di New York ini banyak berdiri rumah-rumah mewah dengan ukuran besar bergaya kastil.


Taman ditepi jalan, yang dibuat khusus bagi pejalan kaki juga sangat asri dan teduh. Banyak pula bangku2 taman yang disediakan bagi pengunjung untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan berjalan kaki.


Setelah cukup panjang berjalan kaki, sampailah kami di komplek pertokoan yang terkenal di dunia, Champ-Elysees. Berbagai toko dan butik kelas atas, seperti Walt Disney's, Louis Vuitton, Channel, Zarra, Cartier, dan masih banyak lagi ada disini. Senang sekali rasanya bisa melihat langsung hasil karya perancang fashion kelas dunia. Jalanan sepanjang 2 Kilometer ini sangat ramai pengunjung. Namun rasanya tak penat menelusuri 'jalan terindah didunia', (demikian julukannya), sebab banyak hal baru yang kami temukan disekitarnya. 


Tanpa terasa kami sampai di ujung jalan, tempat berdiri dengan gagahnya Arc de Triomphe (Gapura Kemenangan), yang terletak di barat Champs-Elysees. Gapura ini dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte sebagai bentuk penghargaan kepada tentara kebesarannya. Beberapa Selama di beberapa wilayah negara eropa, sering saya menemukan gapura-gapura. Setiap gapura yang dibangun sebagai tanda kemenangan ataupun kemakmuran raja yang memerintah pada saat itu. Bangunannya pun tak tanggung-tanggung, indah dan kokoh.

Tak terasa hari mulai malam. Lampu-lampu sepanjang boulevard Champs-Elysees mulai dinyalakan. Mungkin inilah penyebabnya sehingga ia dijuluki sebagai 'jalan terindah di dunia'. Ratusan sinar lampu jenis mercuri yang memancarkan warna ke emasan memang menambah romantis suasana disini. Tapi kami tak bisa berlama-lama, karena ingin pula melihat Eiffel di waktu malam. Bergegas kami kembali menuju menara tersebut. Menurut informasi yang kami terima, pada saat-saat tertentu ada lampu sorot yang disertai ribuan bahkan mungkin jutaan lampu-lampu kecil yang dinyalakan secara bersamaan. Moment inilah yang ingin kami lihat. Tetapi karena tak tahu kapan saat itu tiba, dan tak mau ambil resiko ketinggalan moment tersebut, maka kamipun segera berangkat kembali ke menara Eiffel.



Dikejauhan sudah terlihat Eiffel dengan penampilan barunya. Kami memilih untuk melihat Eiffel dari kejauhan, agar cahaya lampu terlihat dengan sempurna. Tempat khusus untuk melihat Eiffel di malam hari ini ternyata sudah ramai di padati pengunjung dengan tujuan yang sama tentunya. Lampu di badan menara sudah menyala. Dari sini terlihat jelas, sinar yang (lagi-lagi) keemasan melekat di seluruh menara, membingkai  bentuknya dengan jelas.

Saat asyik mengambil beberapa foto, tiba2 lampu-lampu sorot yang berada tepat di puncak menara menyala, disertai pula dengan lampu2 kecil berkelap kelip menambah cantiknya penampilan si Eiffel di malam ini. Orang-orang disekitar bersorak gembira, mungkin merasa beruntung bisa melihat moment tersebut yang berlanjut hanya dalam hitungan menit saja. Eiffel bak putri cantik jelita yang berdiri tegak di angkasa, dengan gaun gemerlap bertabur cahaya dan mahkota bersinar terang menyorot ke segala penjuru kota ini. Seakan ia menyapa seluruh pengunjung, memamerkan kecantikannya. Saya  pribadi juga merasa Eiffel jauh lebih cantik di malam hari. Kesan anggun dan sedikit angkuh menjadikannya semakin spesial dimata kami. Tak menyesal rasanya, walaupun badan sudah sangat penat seharian berkeliling dan kembali lagi ke sini. Terbayar impas dengan keindahan menara tersebut.
Perjalanan hari ini terasa menyenangkan. Cukup banyak tempat wisata di Paris yang kami kunjungi. Pagi esok kami akan bertolak meninggalkan kota ini, menuju Belanda. Jika memungkinkan kami berencana mampir sebentar di Brussell, Belgia.
Perjalanan yang cukup panjang, dan tentunya kami harus istirahat agar besok tak ada kendala masalah stamina. Sedikit catatan, wisata di Eropa banyak dilalui dengan berjalan kaki karena transportasi umum yang ada hanya kereta, bus  dan taksi. Khusus untuk taksi, biasanya mereka tak melayani rute2 pendek. Sedang kereta dan bus, tak semuanya memiliki stasiun yang dekat  dengan tempat-tempat wisata yang ingin di kunjungi. Pantas saja sering kita melihat wisatawan asing yang datang ke negara kita terbiasa berjalan kaki. Tak seperti kita yang manja, jika malas ke stasiun bus, dari depan rumahpun ada oplet dan  beca yang bisa membawa sampai tujuan.
Sebelum kembali ke hotel, kami mampir sebentar di toko membeli roti untuk sarapan esok hari. Soal makan, karena sudah sangat paham sulitnya mencari kedai makanan halal, kami membawa bekal dari Berlin. Jadi sehari ini perut kami masih bisa di merasakan nikmatnya nasi. Semoga besok kami bisa menikmati perjalanan berikutnya.



*Thanks to : Our Guide, dr. Riska Mayasari Srg
pemandu terbaik yang mengerti isi kantong rombongan, hahaha....