Kamis, 12 Januari 2012

Kakak ku Rani yang Cantik

Kakak ku Rani. Berkulit putih, rambut hitam sedikit bergelombang. Wajah oval dengan mata sayu melengkapi keelokan rupanya. Kakak ku Rani, kembang desa kami yang kesohor. Tak ada pemuda kampung kami dan kampung tetangga yang tak mengenalnya. Termasyhur, itulah predikat yang disandang kakak ku.

tapi itu dulu.. dulu sekali.

Kakak ku Rani, selalu ceria. Tak pernah raut wajahnya masam atau cemberut. Tiap kali disapa oleh orang-orang kampung, selalu ia balas dengan ramah. Dari yang iseng sampai yang pura-pura serius. Semua di tanggapi dengan baik, paling tidak dengan senyuman. Kalau sudah begitu, hati yang menyapa bisa langsung keok.

tapi itu dulu... dulu sekali

Kakak ku Rani, juara di kelas madrasah yang gurunya hanya seorang janda miskin. Ini sekolah satu-satunya di sini. Kampung kami yang  jauh dari kabupaten memang sangat terpencil. Mungkin tak sempat pemerintah memperhatikan kami, dan mungkin juga tak ada guru yang mau mengabdi di kampung ini. Terlalu jauh, terlalu sunyi, terlalu 'kampungan' dan masih banyak 'terlalu-terlalu' lainnya yang sering dijadikan alasan. Dulu pak Kades masih sering sowan ke kabupaten, berupaya mengajukan permintaan soal pendidikan . Tapi hasilnya tetap saja sama. Mungkin karena tak juga ditanggapi, akhirnya pak Kades kami yang gagah (karena hanya beliau yang memilki foto dengan seragam putih lengkap dengan atribut 'kadesnya') menyerah. Kami pun pasrah, hanya madrasah ini lah satu-satunya tempat kami menimba ilmu. Dan kakak ku Rani lah murid kebanggaan.

tapi itu dulu.. dulu sekali.

Lalu kakak ku Rani yang cantik merantau ke negeri asing. Ikut program TKI ke Arab Saudi , begitu yang kudengar.
Tiga bulan pertama kakak ku Rani masih mengirim kabar pada ibu. Bercerita bahwa ia sangat ingin pulang. Sering ku dengar ibu menangis membaca surat dari kakak ku. Tapi ibu hanya diam, tak bercerita pada ku. Mungkin ibu berfikir, tak ada gunanya bercerita pada seorang anak remaja.
Setelah tiga bulan, kakak ku Rani tak pernah lagi mengirim kabar. Entah apa dan bagaimana ia, ibu benar-benar putus asa. Tiap malam kudengar doa ibu sehabis sujudnya. Ibu ingin kakak ku Rani pulang.
Hingga akhirnya  doa ibu terkabul. Kakak ku Rani pulang. Pulang dengan kondisi yang menyedihkan.

Lalu kakak ku Rani berubah aneh. Tiap ditanya selalu jawabnya meracau. Mulanya ibu mengira kakak ku sedang sakit biasa saja. Namun lama-kelamaan ceracaunya semakin tak menentu. Lalu ibu berinisiatif untuk membawa kakak ku ke 'orang pintar'. Aku tak paham betul apa maksud orang pintar. Yang ku lihat, kakak ku di jampi dan di sembur dengan air dari mulut orang pintar tersebut. Mungkin inilah yang disebut 'pintar', aku tak begitu ambil pusing. Aku hanya ingin kakak ku Rani kembali seperti semula. Namun apa hendak di kata, semua upaya nampaknya sia-sia. Kakak ku semakin 'kacau'. Jika tak diawasi, kakak ku kabur dari rumah. Keliling kampung sambil tertawa-tawa sendiri. Rambutnya yang dulu hitam dan bersih, sekarang berubah gimbal dan kusam karena kakak ku sudah tak ingat lagi untuk mandi. Kulitnya yang bersih sekarang hitam dan kering karena kakak ku selalu berkeliaran di terik matahari sambil menari. Matanya yang dulu bersinar sayu, kini jalang dan penuh luka. Entah apa yang menimpanya, kami benar-benar tak mengerti.

Kakak ku Rani semakin brutal. Tiap kali ada yang mengejeknya, kakak ku langsung mengejar atau melempar dengan apa saja yang di dapatnya. Sudah berulang kali kami menanggung caci maki dari orang-orang di kampung yang dilukai oleh kakak ku. Ibu menangis, menangisi nasib kakak ku. Tak ada pilihan lain, ibu harus bertindak. Kakak ku Rani yang cantik terpaksa di pasung.

Kakak ku Rani terkurung dalam ruangan sunyi dan pengap. Bau dan gelap. Setiap hari kakak ku terus bernyanyi tanpa syair. Nadanya menyayat hati, tapi tak seorang pun yang tahu apa yang diucapkannya. Bahasanya aneh. Malam ini, aku berdiri dari balik jendela kecil dari luar rumah reot yang sengaja kami bangun untuk kakak ku Rani. Ku tatap kakak ku di dalam ruangannya yang pengap, gelap dan bau. Kakak ku juga sudah lupa soal kebersihan dan kesehatan, dengan se enaknya berkotoran di kamar kumuhnya. Suaranya lirih, bergumam tak jelas dengan bahasa yang aneh. Bahasa yang hanya dimengerti oleh kakak ku sendiri. Isak ku tak tertahan. Kupandang langit, maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok.  Doa yang kutujukan hanya untuk kakak ku Rani yang cantik, semoga besok ia tak mengamuk lagi.