Kakak ku Rani. Berkulit putih, rambut hitam sedikit bergelombang.
Wajah oval dengan mata sayu melengkapi keelokan rupanya. Kakak ku Rani,
kembang desa kami yang kesohor. Tak ada pemuda kampung kami dan kampung
tetangga yang tak mengenalnya. Termasyhur, itulah predikat yang
disandang kakak ku.
tapi itu dulu.. dulu sekali.
Kakak ku Rani, selalu ceria. Tak pernah raut wajahnya masam atau
cemberut. Tiap kali disapa oleh orang-orang kampung, selalu ia balas
dengan ramah. Dari yang iseng sampai yang pura-pura serius. Semua di
tanggapi dengan baik, paling tidak dengan senyuman. Kalau sudah begitu,
hati yang menyapa bisa langsung keok.
tapi itu dulu... dulu sekali
Kakak ku Rani, juara di kelas madrasah yang gurunya hanya seorang janda
miskin. Ini sekolah satu-satunya di sini. Kampung kami yang jauh dari
kabupaten memang sangat terpencil. Mungkin tak sempat pemerintah
memperhatikan kami, dan mungkin juga tak ada guru yang mau mengabdi di
kampung ini. Terlalu jauh, terlalu sunyi, terlalu 'kampungan' dan masih
banyak 'terlalu-terlalu' lainnya yang sering dijadikan alasan. Dulu pak
Kades masih sering sowan ke kabupaten, berupaya mengajukan permintaan
soal pendidikan . Tapi hasilnya tetap saja sama. Mungkin karena tak juga
ditanggapi, akhirnya pak Kades kami yang gagah (karena hanya beliau
yang memilki foto dengan seragam putih lengkap dengan atribut
'kadesnya') menyerah. Kami pun pasrah, hanya madrasah ini lah
satu-satunya tempat kami menimba ilmu. Dan kakak ku Rani lah murid
kebanggaan.
tapi itu dulu.. dulu sekali.
Lalu kakak ku Rani yang cantik merantau ke negeri asing. Ikut program TKI ke Arab Saudi , begitu yang kudengar.
Tiga bulan pertama kakak ku Rani masih mengirim kabar pada ibu. Bercerita bahwa ia sangat ingin pulang. Sering ku dengar ibu menangis membaca surat dari kakak ku. Tapi ibu hanya diam, tak bercerita pada ku. Mungkin ibu berfikir, tak ada gunanya bercerita pada seorang anak remaja.
Setelah tiga bulan, kakak ku Rani tak pernah lagi mengirim kabar. Entah apa dan bagaimana ia, ibu benar-benar putus asa. Tiap malam kudengar doa ibu sehabis sujudnya. Ibu ingin kakak ku Rani pulang.
Hingga akhirnya doa ibu terkabul. Kakak ku Rani pulang. Pulang dengan kondisi yang menyedihkan.
Tiga bulan pertama kakak ku Rani masih mengirim kabar pada ibu. Bercerita bahwa ia sangat ingin pulang. Sering ku dengar ibu menangis membaca surat dari kakak ku. Tapi ibu hanya diam, tak bercerita pada ku. Mungkin ibu berfikir, tak ada gunanya bercerita pada seorang anak remaja.
Setelah tiga bulan, kakak ku Rani tak pernah lagi mengirim kabar. Entah apa dan bagaimana ia, ibu benar-benar putus asa. Tiap malam kudengar doa ibu sehabis sujudnya. Ibu ingin kakak ku Rani pulang.
Hingga akhirnya doa ibu terkabul. Kakak ku Rani pulang. Pulang dengan kondisi yang menyedihkan.
Lalu kakak ku Rani berubah aneh. Tiap ditanya selalu jawabnya meracau.
Mulanya ibu mengira kakak ku sedang sakit biasa saja. Namun
lama-kelamaan ceracaunya semakin tak menentu. Lalu ibu berinisiatif
untuk membawa kakak ku ke 'orang pintar'. Aku tak paham betul apa maksud
orang pintar. Yang ku lihat, kakak ku di jampi dan di sembur dengan air
dari mulut orang pintar tersebut. Mungkin inilah yang disebut 'pintar',
aku tak begitu ambil pusing. Aku hanya ingin kakak ku Rani kembali
seperti semula. Namun apa hendak di kata, semua upaya nampaknya sia-sia.
Kakak ku semakin 'kacau'. Jika tak diawasi, kakak ku kabur dari rumah.
Keliling kampung sambil tertawa-tawa sendiri. Rambutnya yang dulu hitam
dan bersih, sekarang berubah gimbal dan kusam karena kakak ku sudah tak
ingat lagi untuk mandi. Kulitnya yang bersih sekarang hitam dan kering
karena kakak ku selalu berkeliaran di terik matahari sambil menari.
Matanya yang dulu bersinar sayu, kini jalang dan penuh luka. Entah apa
yang menimpanya, kami benar-benar tak mengerti.
Kakak ku Rani semakin brutal. Tiap kali ada yang mengejeknya, kakak ku
langsung mengejar atau melempar dengan apa saja yang di dapatnya. Sudah
berulang kali kami menanggung caci maki dari orang-orang di kampung yang
dilukai oleh kakak ku. Ibu menangis, menangisi nasib kakak ku. Tak ada
pilihan lain, ibu harus bertindak. Kakak ku Rani yang cantik terpaksa di
pasung.
Kakak ku Rani terkurung dalam ruangan sunyi dan pengap. Bau dan gelap.
Setiap hari kakak ku terus bernyanyi tanpa syair. Nadanya menyayat
hati, tapi tak seorang pun yang tahu apa yang diucapkannya. Bahasanya
aneh. Malam ini, aku berdiri dari balik jendela kecil dari luar rumah
reot yang sengaja kami bangun untuk kakak ku Rani. Ku tatap kakak ku di
dalam ruangannya yang pengap, gelap dan bau. Kakak ku juga sudah lupa
soal kebersihan dan kesehatan, dengan se enaknya berkotoran di kamar
kumuhnya. Suaranya lirih, bergumam tak jelas dengan bahasa yang aneh.
Bahasa yang hanya dimengerti oleh kakak ku sendiri. Isak ku tak
tertahan. Kupandang langit, maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok. Doa yang kutujukan hanya untuk kakak ku Rani yang cantik, semoga besok ia tak mengamuk lagi.