Kamis, 22 Desember 2011

Mother's Day

Kemarin, tepat di hari ibu, saya sedang berada di sebuah kampung di kaki bukit perkebunan kelapa sawit. Awalnya saya dan teman (seorang ibu) tak menyadari kalau hari itu adalah hari ibu yang ramai di rayakan oleh anak di Indonesia. Saya sendiri sebenarnya tak pernah merayakan hari ini secara khusus. 

Saat duduk santai di tepi jalan setapak di kampung ini, ada pemandangan yang cukup menarik buat kami. Beberapa anak kecil berseragam SD pulang dari sekolahnya yang terletak di kampung seberang sekitar 3km dari sini. Ada yang sudah basah kuyub. Setelah saya tanya kenapa ia basah (sedangkan hari sangat cerah saat itu) ternyata ia mandi di sungai lengkap dengan seragam sekolah yang sedang ia pakai. Wajahnya terlihat cerah, senyum khas anak-anak (umur 7thn, laki-laki) membuat saya terpingkal-pingkal. Tak ada rasa bersalah dan takut di wajahnya. Tentu saja karena saat pulang ke rumah nanti Ibu si anak juga tak akan memarahi apa yang baru saja ia lakukan. Artinya, ini hal yang biasa dilakukan anak-anak di kampung ini. Karena jarak sekolah  yang jauh, cuaca panas seperti ini membuat anak-anak terbiasa menceburkan diri sejenak di sungai kecil yang mereka lewati.

Selang beberapa waktu kemudian, lewat pula serombongan anak perempuan. kalau yang ini saya dan sahabat miris melihat pemandangan yang 'lewat' kali ini. Anak perempuan berumur sekitar 7 sampai 10 tahunan ini menenteng sepatu mereka. Padahal jalan yang mereka lalui penuh batu dan lumpur. Belum lagi duri dari pelepah sawit yang berserakan. Mereka tak perduli, bererjalan dengan cepat bahkan sesekali melompat riang. Tak perduli dengan bahaya yang mungkin saja melukai tapak kaki mereka yang belia, asalkan sepatu sekolah yang mungkin 'cuma satu-satunya' ini tak rusak. Kami memandangnya dengan miris. Ada perbedaan yang mencolok. Di kota, Ibu-ibu membelikan sepatu buat anaknya untuk menghiasi dan melindungi kaki si anak. Namun disini lain ceritanya. Mungkin juga si Ibu terpaksa menambah panjang jam bekerjanya sebagai buruh di perkebunan sawit, agar memperoleh penghasilan lebih, demi cintanya pada si anak yang ingin bersekolah. Ibu membelikan sepatu karena patuh pada peraturan yang ditetapkan sekolah. Dengan susah payah si Ibu mengumpulkan uang agar mampu membeli sepatu sekolah buat anaknya, lalu berpesan kepada si anak agar menjaga sepatunya dengan baik. Jangan cepat rusak, karena bukanlah hal mudah baginya untuk membeli sepatu yang baru. Mengingat jauhnya jarak tempuh ber sekolah dan kondisi jalanan yang buruk apalagi saat cuaca hujan, membuat si anak memilih untuk menenteng saja sepatunya, dan membiarkan kakinya berjalan tanpa alas. Bukti kasihnya pula pada sang Ibu.

Sungguh ironis. Namun saya benar-benar tersentuh akan ikatan cinta kasih yang dibentuk oleh Ibu dan anak ini. Tanpa mereka sadari, keadaan mendidik mereka untuk saling menghargai satu sama lain. Lewat benang kesusahan dan kemiskinan, mereka merajut sehelai selimut kasih sayang yang kaya rasa. Tak putus dimakan terik, tak lekang diterpa hujan. Selamat Ibu, kau telah mengukir cinta di hati anakmu. Semoga kelak ia mengingat bentuk cinta yang kau ukir, agar dijadikannya sebagai penguat hatinya meniti hidupnya kelak.


Kasih Ibu.. kepada beta
tak terhingga sepanjang masa..
hanya memberi, tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia...


#song#