Seharusnya kau tak mencintaiku. Cinta yang salah. Diwaktu yang terbalik. Dasar bodoh!
Kata orang, cinta itu indah. Kataku, cinta itu gelap. Kata orang, cinta itu nafas kehidupan. Tapi menurutku, cinta itu nafas kematian. Tak pernah ada cinta yang indah dalam hidupku. Bagaimana dengan cinta keluarga? Aku muak, paling muak. Ayah dan Ibu ku tak pernah punya cinta. Mungkin mereka pun dilahirkan tanpa cinta. Hingga keduanya tak mengenal cinta setitikpun. Saudara serahim? Puihhh…. mual perutku. Kakak perempuan ku tak tahu malu. Menikah setelah isi diperutnya membentuk nyawa. Adik laki-laki ku pecandu segala jenis obat yang mampu menciptakan surganya. Setengah gila dan buas. Ada kah cinta menurutmu yang mengalir dalam darahku? Dan kau masih saja ngotot untuk mecintaiku.
Kata orang, cinta itu indah. Kataku, cinta itu gelap. Kata orang, cinta itu nafas kehidupan. Tapi menurutku, cinta itu nafas kematian. Tak pernah ada cinta yang indah dalam hidupku. Bagaimana dengan cinta keluarga? Aku muak, paling muak. Ayah dan Ibu ku tak pernah punya cinta. Mungkin mereka pun dilahirkan tanpa cinta. Hingga keduanya tak mengenal cinta setitikpun. Saudara serahim? Puihhh…. mual perutku. Kakak perempuan ku tak tahu malu. Menikah setelah isi diperutnya membentuk nyawa. Adik laki-laki ku pecandu segala jenis obat yang mampu menciptakan surganya. Setengah gila dan buas. Ada kah cinta menurutmu yang mengalir dalam darahku? Dan kau masih saja ngotot untuk mecintaiku.
Akan kukatakan siapa aku. Semoga kau mati setelah mendengar kisahku. Mati rasa cintamu padaku.
Aku bunga liar tanpa duri. Tumbuh disembarang tempat yang ku inginkan. Kotor, bau dan busuk sudah biasa kugauli. Soal hidup tak perlu kau tanya padaku. Tak pernah aku risau. Karena aku tak pernah berfikir untuk hidup lama di dunia ku yang sempit dan gelap. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.
“Aku tak perduli Nayara, kau cinta yang ku tunggu. Cinta yang ku lantunkan dalam setiap doa ku. Cinta yang membutakan mataku, membelenggu liarku. Aku cuma cinta. cuma cinta Yara. Tak perlu alasan lain, tak perlu tau busukmu, kotormu atau burukmu. cuma cinta.” Sanjungmu hampir mematikan gilaku.
“Aku tak pantas. Sungguh tak pantas. Doa yang kau lantunkan bukan untuk ku. Sudahlah, jangan membantah. Kuhargai perhatianmu, keinginanmu untuk mencintaiku. Tapi ku tegaskan, cintamu salah!” Ucapku sengit, atau lebih tepatnya putus asa.
Aku tak mau berurusan dengan cinta yang sudah cukup memuakkan. Bahkan mendekati batas menjijikkan. Pergi jauh. Jangan dekati aku lagi. Biarkan aku dengan duniaku yang semakin berjelaga. Dunia dengan langit yang kelam, pelangi yang tak berwarna dan angin yang meraungkan amarah disetiap desaunya. Aku tak perduli. Ini lah duniaku. Aku akan terus mengukir petaka di sini. Hingga petaka itu merenggutku dengan kasar. Mematikan ruh ku. Dan tak ada seorangpun yang terluka saat itu. Aku tak butuh itu. Aku tak butuh isak tangis. Tertawakan saja kepergianku. Aku tak keberatan, karena dengan tawamu aku bisa terbang lebih tinggi menjauh dari segala masalah yang memuakkan ini.
*****
Berlalu tujuh hari…
Banyak sekali orang-orang dengan air mata disini. Lihatlah, mereka menangisi seonggok mayat di dipan beralas seprei dan bantal putih itu. Jasad ku yang terbujur kaku. Semalam aku mati. Tepatnya, mematikan diri. Ku rasa itu waktu yang tepat. Saat kudengar ayah dan ibu ku saling mencaci maki, sumpah serapah dan melontarkan kata-kata kotor di ruang tamu. Saat adik laki-laki ku mengamuk hebat di kamarnya karena kehabisan pil pencipta surganya yang penuh setan bertaring. Dan saat ku dengar musik keras dari kamar kakak ku yang bersahutan dengan tangis anaknya yang kelaparan, tak dihiraukan ibunya yang sedang menikmati minuman kerasnya.
Waktu yang tepat bukan?
Lalu aku mencari pisau silet yang ku beli di supermarket 7 hari yang lalu. Tak sulit menemukannya. Karena ia kutempatkan pada kotak kecil bersepuh emas. Kotak cincin imitasi pemberianmu, satu-satunya barang yang pernah kuterima. Kubuang cincin murahan itu, aku hanya butuh kotak kecilnya yang manis. Untuk menyimpan penjagal yang telah ku pilih.
Lalu aku mencari pisau silet yang ku beli di supermarket 7 hari yang lalu. Tak sulit menemukannya. Karena ia kutempatkan pada kotak kecil bersepuh emas. Kotak cincin imitasi pemberianmu, satu-satunya barang yang pernah kuterima. Kubuang cincin murahan itu, aku hanya butuh kotak kecilnya yang manis. Untuk menyimpan penjagal yang telah ku pilih.
Ku arahkan penjagal kecilku tepat di pergelangan tangan kiriku.
Melintang garis nadi yang sudah siap menanti di sayat. Ku pandang nadiku
dengan kosong, mengucapkan selamat berpisah. Semoga ia tak menyesal
telah menjadi denyut kehidupanku selama ini. Dan aku mulai menyayatnya,
mengakhiri semua…
*****
Inilah aku sekarang. Hanya berbentuk kabut tipis berwarna suram. Melayang di langit yang tak perduli dengan kehadiranku. Karena aku memang tak ingin ada yang perduli. Tapi tetap saja mereka menangis, entah untuk apa. Menangisi kepergianku? Padahal saat aku ada kalian mencibir dan meludahiku. Munafik! Selamat tinggal dunia sempitku, dunia gelapku. Walau aku tak tahu dunia seperti apa yang akan ku hadapi. Aku tetap memilih mati.