Jumat, 23 Desember 2011

Maha

Yang MahaPenguasa....
jangan Engkau marah padaku, karena aku jarang meminta padamu
bukan karena sombongku, atau tak takut padaMu
semata-mata karena maluku,
terlalu banyak pintaku, tak seimbang dengan amalku

Yang Maha atas segala Maha....
jangan Engkau tinggalkan aku tanpa awas Mu
sesungguhnya aku takut jika Kau enggan melihatku
karena aku buta, tak mampu memandang takdirku
dan aku tahu tak ada yang mampu menandingi pandanganMu

Yang MahaPemilik segala Cinta....
maafkan aku, karena cintaku padamu belum kokoh
cintaku masih penuh lumur dusta
tak sekokoh sumpah
tak sepanas bara

Sang pemilikMaha...
bantu aku mencintamu
cinta yang tak hanya datang ketika lara
cinta yang tak akan hapus ketika bahagia

Bara

Bara menghisap rokoknya dalam-dalam. Kegelisahan terpancar diwajahnya yang kuyu. Entah langkah apa yang harus diambilnya. Kesulitan yang  membelenggu, membuat dadanya sesak dan terasa ingin pecah. Rambut acak-acakan, pakaian kumal dan mata yang cekung menandakan bahwa ia benar-benar kalut saat ini. Tak ada yang bisa diharapkan untuk bisa membantu. Setidaknya Bara sudah pula berusaha meminta bantuan kepada orang-orang yang dikenalnya. Hasilnya nihil. Tak ada lagi yang mau membantu. Mereka sudah bosan dengan alasan yang selalu berbeda saat Bara meminta bantuan.


Bara merogoh kantung celananya. Cuma lima lembar uang seribuan yang kumal. Hanya cukup buat beli sebungkus nasi sayur tanpa lauk pengganjal perut malam ini. Besok entah bagaimana, Bara benar-benar putus asa. Direbahkannya tubuh kurus di dipan berkasur tipis. Rumah kumuh yang ia kontrak untuk 3 bulan ini tak berisi perabotan lain selain dipan dan kasur busuk. Matanya menerawang, menikmati kepulan asap dari sebatang rokok terakhirnya. Tak mampu lagi ia berfikir jernih. Inilah akhir dari hidupku, sungguh mengenaskan. Seperti mimpi, rasanya baru kemarin Bara menikmati masa-masa gemilang. Menghiasi hidupnya dengan berjuta kenikmatan yang manis. Pesta, minuman, klub malam, wanita panggilan kelas atas, dan obat-obatan bukan hal yang asing bagi Bara. Tak ada malam yang dilewatkannya tanpa pesta. Semua pekerja di klub malam selalu menunduk hormat tiap kali Bara hadir. Menuntunnya ke meja yang memang telah dipersiapkan, menjamu dengan minuman memabukkan berlabel nomor satu dan memanggilkan wanita-wanita sexy sesuai tipe yang disukai Bara. semua penghuni klub itu sudah hapal aturan yang ditetapkan Bara. Tak ada yang berani melanggarnya, jika masih ingin bekerja disini dan tak pulang dengan kondisi babak belur.


Tak ada yang tak mengenal Bara. Laki2 dengan perawakan tinggi, berkulit putih dan wajah rupawan ini mampu membuat begitu banyak orang takut dan tunduk padanya. Bara tak segan-segan bertindak kasar terhadap orang yang benar-benar tak ia sukai. Kekayaannya melimpah, semua dia dapat dengan jalan tak halal melalui berbagai macam bisnis ilegal yang dikuasainya. Rumah Judi, importir minuman keras berlabel luar negeri, pelacuran dan perdagangan obat2an yang belakangan semakin marak beredar. Polisi seakan sahabat karibnya, pemerintah setempat seperti kacungnya. semua tunduk dan patuh pada Bara. Mungkin ia membayar cukup mahal untuk semua itu. Ketenarannya tak diragukan lagi, tak ada yang tak mengenal Bara. Menyebut namanya saja butuh keberanian yang cukup besar bagi sebagian besar orang-orang dikota tempat Bara tinggal.
 
Semua kini hanya tinggal kenangan. Kenangan yang Bara sendiri tak bisa menyimpulkan, baik atau burukkah untuk di ingatnya. Segala kejayaan yang ia peroleh habis dalam seketika. Ada saja jalannya untuk pergi. Pada awalnya Bara sendiri tak habis pikir mengapa bisa terjadi, namun lambat laun ia mengerti, jika Tuhan menghendaki apapun, maka tak ada yang bisa menghalangi inginNya. Bara menyerah, kalah pada nasib yang melilitnya. Saat inilah yang harus ia terima. Sendiri. Tak ada lagi teman yang selalu menyanjungnya, tak ada pesuruh yang bisa diperintah dan rela melakukan apapun inginnya, tak ada wanita-wanita cantik yang menggayuti bahunya dengan manja, dan tak ada seribu kenyamanan yang direngguknya setiap malam. Yang tertinggal hanya rasa getir bercampur pahit dan malu. Harga dirinya telah tercampak, dikangkangi oleh penyakit yang kini bersarang di tubuhnya. AIDS. Dengan gagahnya penyakit ini menantang Bara, menggerogoti kekayaan dan segala yang dimilikinya. Habis tak bersisa, Bara yang dulu hanya tinggal bayangan. Berganti dengan Bara yang tipis, kumal dan miskin.

 
Nafasnya sesak, jantungnya terasa sakit. Bara mengelus dadanya yang kerontang. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Tiap kali ia mengingat masa lalunya, sesuatu yang tajam mengiris ulu hatinya. Sesal melintas, tapi ia sadar tak ada gunanya. Lirih hatinya berbisik,
maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok.