Minggu, 08 April 2012
Sobekan Birahi
Jangan paksa aku membuang sobekan cerita tentangmu.
Jangan hina aku karena bertahan dengan semu nya panas tubuhmu
Jangan ludahi aku karena mengais mimpi bersama hangatnya birahimu
Jangan, jangan kau renggut surgaku !
Tak perlu kau kembali hanya untuk mengangkangi rasaku ku
Aku hanya butuh bersenggama dengan dengusan nafasmu
Agar hasratku tercukupi oleh nafsu busukmu
Sampai aku terbakar, mampus di belasah dustamu
O, cinta cinta cinta
kenapa tak pernah aku bisa membuang ingatanku
saat pelukanmu membelenggu erat birahiku
saat jamahmu memuncakkan hasratku
saat peluhmu menjilat peluhku
dan saat kau memasuki aku
melambung, terbang, terengah....
mengejar kesempurnaan.
Sabtu, 31 Maret 2012
Dengan Bismillah, aku memilihmu
Seribu hari . Sejak kau meninggalkan aku dalam keterpurukan, gelap dan kesedihan yang entah kenapa dengan begitu bodohnya ku pertahankan, akhirnya aku mengerti. Bahwa kau tak akan pernah kembali. Saat ini kau sudah bahagia, terbukti dengan apa yang ku lihat tadi. Kemesraan dan cinta terpancar dari matamu saat kau berbicara pada wanita itu. Kalian memang pasangan serasi, harus kuakui. Aku memang terlalu jauh berhayal, terlalu naif berfikir bahwa kau tak akan pernah menemukan wanita lain yang mencintaimu seperti cintaku padamu.Tolol. itu kata yang tepat buat aku. Ini tangisku yang terakhir buatmu, aku harus bisa melupakan mu dan semua tentang mu. Aku harus berdamai dengan hatiku, bahwa menunggumu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan.
......................
Sepuluh hari kemudian...
Berkenalan dengan Barga.
Lelaki tampan, berkelas dan berkecukupan. Berasal dari keluarga terpandang. Tak ada yang salah, apalagi kurang. Janji bertemu hari ini, di resto Jepang tempat favorit Barga. Restoran berkelas, yang sama sekali tak kusuka. Hampir saja kumuntahkan makanan setengah matang ini. Tapi sudahlah, aku menurut saja.
"Barga."
"Aisya."
"Maaf buat kamu menunggu. Mau pesan apa? Ini tempat favoritku, biasa kalau bawa kolega sering kesini. Yah maklumlah, aku banyak tamu dari luar. Jadi gak mungkin juga aku bawa ke warung padang."
Barga bercerita dengan sombong, menimbulkan rasa muak di dadaku. Dan waktu terasa begitu lamban berjalan. Barga menguasai pembicaraan tanpa merasa perlu mendengar pendapat ku. Bercerita atau lebih 'tepatnya' memamerkan apa yang dia miliki. Aku benar-benar penat!
Lalu Hisar..
Manager di sebuah bank ternama. Saat bertemu, Hisar lebih banyak menghabiskan waktunya dengan senyum-senyum sambil terus sibuk memainkan jemari pada handphone canggih bermerek terkenal yang mahal itu. Aku merasa tersinggung, nampaknya Hisar lebih tertarik pada dunia maya ketimbang menyapa aku yang nyata-nyata ada di depannya.
Dan Himawan,
pemuda pendiam atau lebih tepatnya sangat pendiam. Hanya menjawab jika aku bertanya, itupun menjawab dengan seperlunya tanpa menatap lawan bicara. Garing!
Kaisar, yang tanpa malu-malu mengakui kalau dirinya seorang Homo hampir membuat jantungku melompat!
Gundhi, yang tak bisa menahan nafsu makannya.
Lalu Bira, Herman dan.... masih sederet nama lainnya, aku tak ingat lagi. Semua laki-laki yang di kenalkan padaku akhirnya berlalu begitu saja, tak ada seorangpun yang tertinggal. Komentar tak sedap pun mulai bermunculan. Debby dan Nurul, dua sahabat cantik ku yang terlihat paling putus asa.
"Ais... aku pusing liat kamu. Semua tak cocok? Come on girl, wake up!" Debby mulai kesal
"Iya Ais.. kamu mau yang tipe gimana lagi? Mau yang seperti Richard Gere ya? Ayolah non, jangan biarkan mimpi itu terus mengikutimu." Kali ini si pendiam Nurul ikut protes.
Aku hanya diam, tak mampu menjawab karena memang tak ingin menjawab. Aku bukan menolak semua lelaki itu tanpa alasan. Hanya saja ku rasa tak perlu menyampaikan penyebabnya. Cukuplah Aku saja yang tahu. Yang terpenting aku tak berputus asa. Aku hanya sedang menunggu rahasia terindah dalam hidupku. Dia, lelaki itu, pasti datang, suatu hari kelak. Aku hanya butuh waktu. Titik.
.....................
Seribu tujuh puluh hari,
Ding. pesan masuk di handphone ku mengusik ketenangan sore. Dengan malas ku raih dan membaca pesan yang berasal dari nomor yang tak terdata di handphone ku.
'Assalamu'alaikum Aisya, saya Palwa. Maaf jika mengganggumu. Aku dapat nomor kamu dari Pram, sepupu kamu. Jika kamu berkenan aku ingin kita berteman.'
Demi nama Pram, sepupu kesayanganku yang telah tercatut, aku terpaksa membalas seperlunya.
'Dengan senang hati, kamu sudah tau nama ku kan?'
'Boleh ketemu Ais?'
'Boleh, tapi tidak dalam waktu dekat ini, aku sedikit sibuk'
'Baiklah, mungkin lain waktu. Tak keberatan jika aku mengirimi SMS kan?'
'Silahkan.'
...................
Seribu Seratus Hari,
Besok kau akan mengucapkan Akad mu buatku. Kaulah orang yang kutunggu selama ini. Rahasia indah yang selalu dinantikan setiap wanita, dan esok adalah giliranku untuk mengetahui rahasia itu. Kau tak tampan, tak pula berbadan atletis. Pekerjaanmu pun tak berada di dalam ruangan dengan dinding bercat bersih, perabotan bagus serta ruangan ber pendingin. Kau hanyalah seorang pedagang beras di pasar induk yang selalu menutup toko mu di setiap waktu sholat agar bisa berjamaah di masjid pasar. Penampilanmu hampir tak pernah rapi, namun aku tahu kau sangat menjaga kebersihannya. Dan kau, seorang duda dengan dua anak yang masih kecil, istrimu wafat setahun yang lalu. Namun aku merasa yakin untuk menghabiskan sisa umurku bersamamu dan anak-anak mu, yang kelak akan menjadi anakku. Dengan mu aku ingin mewarnai alam anganku dengan warna cinta kasih tulus yang selalu ku lihat saat kau memeluk Daffa dan Salwa, kedua buah hatimu. Sapa santunmu, perilaku serta perhatian yang selalu tepat membuat hari-hari ku bersamamu menjadi semakin bermakna. Karena kau telah memikatku dengan keindahan iman yang kau miliki.
Sejak kau menyapaku melalui pesan itu, perlahan kita mencoba untuk saling mengenal. Sapamu tak pernah berlebihan, namun telah mebuat aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasa sebelumnya, dan tanpa sadar aku selalu menantikanmu. Kau membuat aku mengerti sesuatu yang selama ini tak pernah kumengerti. Bahwa ketulusan dan keikhlasan jauh lebih berharga daripada cinta yang menggelora. Karena tak akan menimbulkan sakit, atau perih, atau luka.
Lalu dengan Bismillah, aku memilihmu, Palwa.
Senin, 13 Februari 2012
Aku memilih mati
Seharusnya kau tak mencintaiku. Cinta yang salah. Diwaktu yang terbalik. Dasar bodoh!
Kata orang, cinta itu indah. Kataku, cinta itu gelap. Kata orang, cinta itu nafas kehidupan. Tapi menurutku, cinta itu nafas kematian. Tak pernah ada cinta yang indah dalam hidupku. Bagaimana dengan cinta keluarga? Aku muak, paling muak. Ayah dan Ibu ku tak pernah punya cinta. Mungkin mereka pun dilahirkan tanpa cinta. Hingga keduanya tak mengenal cinta setitikpun. Saudara serahim? Puihhh…. mual perutku. Kakak perempuan ku tak tahu malu. Menikah setelah isi diperutnya membentuk nyawa. Adik laki-laki ku pecandu segala jenis obat yang mampu menciptakan surganya. Setengah gila dan buas. Ada kah cinta menurutmu yang mengalir dalam darahku? Dan kau masih saja ngotot untuk mecintaiku.
Kata orang, cinta itu indah. Kataku, cinta itu gelap. Kata orang, cinta itu nafas kehidupan. Tapi menurutku, cinta itu nafas kematian. Tak pernah ada cinta yang indah dalam hidupku. Bagaimana dengan cinta keluarga? Aku muak, paling muak. Ayah dan Ibu ku tak pernah punya cinta. Mungkin mereka pun dilahirkan tanpa cinta. Hingga keduanya tak mengenal cinta setitikpun. Saudara serahim? Puihhh…. mual perutku. Kakak perempuan ku tak tahu malu. Menikah setelah isi diperutnya membentuk nyawa. Adik laki-laki ku pecandu segala jenis obat yang mampu menciptakan surganya. Setengah gila dan buas. Ada kah cinta menurutmu yang mengalir dalam darahku? Dan kau masih saja ngotot untuk mecintaiku.
Akan kukatakan siapa aku. Semoga kau mati setelah mendengar kisahku. Mati rasa cintamu padaku.
Aku bunga liar tanpa duri. Tumbuh disembarang tempat yang ku inginkan. Kotor, bau dan busuk sudah biasa kugauli. Soal hidup tak perlu kau tanya padaku. Tak pernah aku risau. Karena aku tak pernah berfikir untuk hidup lama di dunia ku yang sempit dan gelap. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.
“Aku tak perduli Nayara, kau cinta yang ku tunggu. Cinta yang ku lantunkan dalam setiap doa ku. Cinta yang membutakan mataku, membelenggu liarku. Aku cuma cinta. cuma cinta Yara. Tak perlu alasan lain, tak perlu tau busukmu, kotormu atau burukmu. cuma cinta.” Sanjungmu hampir mematikan gilaku.
“Aku tak pantas. Sungguh tak pantas. Doa yang kau lantunkan bukan untuk ku. Sudahlah, jangan membantah. Kuhargai perhatianmu, keinginanmu untuk mencintaiku. Tapi ku tegaskan, cintamu salah!” Ucapku sengit, atau lebih tepatnya putus asa.
Aku tak mau berurusan dengan cinta yang sudah cukup memuakkan. Bahkan mendekati batas menjijikkan. Pergi jauh. Jangan dekati aku lagi. Biarkan aku dengan duniaku yang semakin berjelaga. Dunia dengan langit yang kelam, pelangi yang tak berwarna dan angin yang meraungkan amarah disetiap desaunya. Aku tak perduli. Ini lah duniaku. Aku akan terus mengukir petaka di sini. Hingga petaka itu merenggutku dengan kasar. Mematikan ruh ku. Dan tak ada seorangpun yang terluka saat itu. Aku tak butuh itu. Aku tak butuh isak tangis. Tertawakan saja kepergianku. Aku tak keberatan, karena dengan tawamu aku bisa terbang lebih tinggi menjauh dari segala masalah yang memuakkan ini.
*****
Berlalu tujuh hari…
Banyak sekali orang-orang dengan air mata disini. Lihatlah, mereka menangisi seonggok mayat di dipan beralas seprei dan bantal putih itu. Jasad ku yang terbujur kaku. Semalam aku mati. Tepatnya, mematikan diri. Ku rasa itu waktu yang tepat. Saat kudengar ayah dan ibu ku saling mencaci maki, sumpah serapah dan melontarkan kata-kata kotor di ruang tamu. Saat adik laki-laki ku mengamuk hebat di kamarnya karena kehabisan pil pencipta surganya yang penuh setan bertaring. Dan saat ku dengar musik keras dari kamar kakak ku yang bersahutan dengan tangis anaknya yang kelaparan, tak dihiraukan ibunya yang sedang menikmati minuman kerasnya.
Waktu yang tepat bukan?
Lalu aku mencari pisau silet yang ku beli di supermarket 7 hari yang lalu. Tak sulit menemukannya. Karena ia kutempatkan pada kotak kecil bersepuh emas. Kotak cincin imitasi pemberianmu, satu-satunya barang yang pernah kuterima. Kubuang cincin murahan itu, aku hanya butuh kotak kecilnya yang manis. Untuk menyimpan penjagal yang telah ku pilih.
Lalu aku mencari pisau silet yang ku beli di supermarket 7 hari yang lalu. Tak sulit menemukannya. Karena ia kutempatkan pada kotak kecil bersepuh emas. Kotak cincin imitasi pemberianmu, satu-satunya barang yang pernah kuterima. Kubuang cincin murahan itu, aku hanya butuh kotak kecilnya yang manis. Untuk menyimpan penjagal yang telah ku pilih.
Ku arahkan penjagal kecilku tepat di pergelangan tangan kiriku.
Melintang garis nadi yang sudah siap menanti di sayat. Ku pandang nadiku
dengan kosong, mengucapkan selamat berpisah. Semoga ia tak menyesal
telah menjadi denyut kehidupanku selama ini. Dan aku mulai menyayatnya,
mengakhiri semua…
*****
Inilah aku sekarang. Hanya berbentuk kabut tipis berwarna suram. Melayang di langit yang tak perduli dengan kehadiranku. Karena aku memang tak ingin ada yang perduli. Tapi tetap saja mereka menangis, entah untuk apa. Menangisi kepergianku? Padahal saat aku ada kalian mencibir dan meludahiku. Munafik! Selamat tinggal dunia sempitku, dunia gelapku. Walau aku tak tahu dunia seperti apa yang akan ku hadapi. Aku tetap memilih mati.
Minggu, 22 Januari 2012
Togog dan Semar
Dia Datang setelah kau pergi.
Kedatangannya sama seperti saat kau datang menghampiriku. Sapanya persis seperti sapamu padaku. hangat dan penuh gelora. Manis.... seputih butiran gula. Bergolak alam maya ku. Dua sisi bertentangan, antara ia dan ingatanku tentang kau. Samakah kau dengan nya?
"Cheri, lagi apa?" sapamu....
"Yunda, sedang apa?" sapanya...
"Mendekatlah Cheri, akan ku cium keningmu dengan setangkai mawar putih"
itu bisikanmu saat aku menjelang mimpi.
"Kemarilah Yunda sayang, berbaring renung kita ke bulan. Kutitipkan satu kecupan dikeningmu"
ini pula bisikannya.
Hatiku nelangsa. Sajak tak mampu menyejukkan. Dingin membekukan darahku. Aku mati. Tak mampu keluar dari asmara Togog dan Semar. Terpedaya anganku atas khayangan yang kau dan ia ciptakan. Semu kah ia seperti semu mu? Dusta kah ia seperti dustamu? aku lelah,
berlari..
berlari..
berlari..
mengejar angin yang kau tiupkan, membawa terbang helai cintaku yang tak bermuara.
Sudahilah, biarkan aku lepas dari semua angkara asmara ciptamu. Biarkan aku menganyam asa dengan untaian benang-benang kenikmatan kelam ku. Ada kau, ada ia. cukuplah hanya dalam anganku saja.
Langganan:
Postingan (Atom)